Senin, 24 Maret 2014

Ilmu Hadis dan Ruang Lingkupnya


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang beriman, diwajibkan untuk selalu berada di jalan yang benar dengan tetap berpedoman pada al-Qur’an dan hadis. Sebagaimana dalam sabda nabi Muhammad SAW:
وحدثني عن مالك انه بلغه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه[1]
Artinya: Telah menceritakan kepadaku dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Hadis dalam kedudukannya sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an memilki 3 fungsi pokok, yaitu : pertama sebagai penegas dan penguat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, kedua sebagai pengurai dan perinci hukum-hukum di dalam al-Qur’an yang global, ketiga menetapkan dan menggali hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an.[2]
Hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an telah disepakati oleh hampir seluruh umat Islam sebagai salah satu undang-undang wajib ditaati. Namun demikian telah diakui pula bahwa hadis itu sendiri di dalamnya masih banyak hal yang bersifat kontroversi, dimana salah satu hal penyebabnya adalah terjadinya periwayatan hadis secara maknawi. Sehingga sering menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam terhadap pemahaman suatu matan atau sanad yang ada dalamnya.
Salah satu kegiatan yang di lakukan oleh para ulama hadis dalam rangka mengembangkan, mempelajari dan memudahkan pemahaman terhadap makna dan isi kitab-kitab hadis yang ada  adalah dengan cara menyusun kitab-kitab syarah, yaitu suatu kitab hadis yang di dalamnya memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari al-Qur’an, hadits maupun dari kaidah-kaidah syara’ lainnya. Kegiatan ini sesungguhnya merupakan salah satu wujud perhatian ulama hadis dalam usahanya melestarikan hadis sebagai sumber hukum Islam.
Studi hadits memiliki posisi yang strategis dalam studi Islam, mengingat hadits merupakan poros seluruh ajaran Islam yang harus di rujuk sebagai pendamping al-Qur’an .  dapat di ibaratkan bahwa jika al-Qur’an poros, maka hadis menempati posisi as, sementara karya ulama menempati jeruji yang akan di jalankan oleh umat sebagai pelek dan roda dalam roda kehidupan beragama.[3]
Untuk memahami dengan baik dan benar hadis yang menjadi perinci al-Quran di perlukan suatu alat yang dapat mengantarkan seseorang untuk memudahkannya yakni salah satunya yaitu Qawaid al-Tahdis} merupakan ilmu yang mengkaji bagian yang terpenting dari ‘u>lum al-hadi>s, ushul> Hadis, dan atau mushtalah al-Hadi>s, yaitu kaidah yang digunakan untuk mengkaji tingkat keshahihan hadis dan kehujjahannya.[4]

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan maslah yang di jadikan sebagai titk fokus dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah yang dimaksud adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan Ilmu Hadis?
2.      Bagaiman sejarah perkembangan Ilmu Hadis?
3.      Bagaimana ruang lingkup pembahasan Ilmu Hadis tersebut?
4.      Apa kegunaan mempelajari Ilmu Hadis?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Ilmu Hadits
Kata Ilmu Hadits berasal dari bahasa arab yaitu terdiri dari kata علم الحديث , yang terdiri dari dua suku kata yaitu ‘ilm dan hadi>ts. Secara  etimologi, ‘ilm berarti pengetahuan[5], ilmu pengetahuan, jamaknya, ‘ulum, yang berarti al-yaqi>n ( keyakinan) dan al-Ma’rifah (pengetahuan). Menurut para ahli kalam (Mutakallimun>), ilmu berarti keadaan tersikapnyasesuatu yang diketahui (objek pengetahuan). Tradis dikalangan sebagian ulama, ilmu di artikan sebagai sesuatuyang menancap dalam-dalam pada diri seseorangyang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.[6]
Adapun kata hadi>ts, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, berasal dari bahasa arab al-hadi>ts berarti baru, yaitu الحديد من الشياء   (sesuatu yang baru), bentuk jamak hadi>ts dengan makna ini hida>ts, huda>tsa dan huduts, dan antonimnya qadi>m (sesuatu yang lama).[7]Jadi, Hadi>ts secara terminologinya adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,[8]baik itu beupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifatnya[9] yang berfungsi sebagai penafsir atau penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an[10].
Dari pengertian diatas, ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabiat dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan thabi>’in. Menurut al-Suyu>thi dalam kitabnya yang dikutip oleh Dr.Idri, M.Ag,[11]
علم يبحث فيه كيفية التصال الآحاديث با لرسول ص.م . من حيث معرفة احوال رواتها ضبطا وعدالة ومن حيث كيقية السند اتصالا وانقطاعا
Ilmu Hadis adalah Ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW, dari segi mengetahui hal ihwal para periwayatnya, menyangkut ke-dhabi>th-an dan keadilannya, dan dari segi tersambung atau terputusnya sanad, dan sebagainya
Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits sebagai segala pengetahuan yang berhubungan dengan hadits Nabi.[12]
Menurut para ahli pakar secara terminologi pengetian Ilmu Hadis ada 3 yaitu;[13]
·         Ilmu Hadis adalah Ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang di hubungkan dengan Rasul, baik mengenai perkataan yang beliau ucapakan, perbuatan yang beliau lakukan atau pengakuan yang beliau ikrarkan, atau tingkah laku yang beliau lakukan sebelum menjadi rasul  atau sesudahnya, atau menukil/ meriwayatkan apa saja yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in.
·         Ilmu Hadis adalah ilmu tentang sistem atau metode untuk meneliti keadaan sanad-sanad hadis dari segi muttashil dan munqhathinya dan keadaan rawi-rawi hadis dari segi dhabit dan adilnya.
·         Ilmu tentang pembahasan terhadap makna-makna dan maksud-maksud yang di kandung oleh lafaz-lafaz hadis berdasarkan kaidah-kaidah bahasa arab dan aturan syariah serta kesesuaian dengan tingkah laku nabi SAW.
Ulama berbeda-beda dalam memberi nama Ilmu Hadis ini. Ada yang memberi nama ‘Ulum al-Hadi>ts; ada yang memberi nama ‘Ilm Ushul al-Hadits; ada yang memberi nama ‘Ilm Musthalah  al-Hadi>ts; ada yang member nama ‘Ilm Musthalah al-Atsar, ada yang meberi nama Qawaid al-Tahdi>s; ada yang memberi nama Metodologi Kritik Hadis;  dan ada juga yang memberi nama Metodologi Kajian Hadis. Walaupun nama-nama itu berbeda-beda, akan tetapi yang dimaksud adalah sama, yang berbeda hanya cakupan pembahasannya yang biasa tidak sama. Kesemuanya, ilmu ini membahas tentang hadis Nabi Muhammad SAW.[14]
B.   Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis
Pada hakikatnya, Ilmu Hadis itu mulai muncul pada masa Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadisnya dan para sahabat meriwayatkannya. Ilmu hadis secara bersamaan dengan pertumbuhan periwayatan dan penukilan hadis. Ilmu ini mulai tampak pada saat Rasulullah wafat, sahabat sebagai generasi pengemban amanah menyampaikan dan menyebarakan Islam, aktif serta giat melakukan periwayatn hadis. Hal ini dilakukan untuk menyebarluaskannya ditengah masyarakat serta menghindari adanya orang-orang yang menodai dan merusaknya. Para sahabat berusaha dengan keras untuk menjaga, menukil, menghafal, dan menulis hadis. Dari sisi penulisan hadis Nabi lebih dahulu ditulis daripada ilmu hadis itu sendiri. Karena hadis itu merupakan materi yang dimaksud, dikumpulkan, dan dikaji, sedangkan ilmu hadis merupakan kaidah-kaidah dan metode yang digunakan untuk menyeleksi diterima atau ditolaknya suatu hadis serta untuk mengetahui kualitas hadis tersebut. Pada masa sahabat dan ta>bi’i|n serta generasi berikutnya telah terdapat kaidah-kaidah ilmiah tentang metode  penerimaan riwayat, meskipun sebagian besar kaidah yang digunakan masih belum maksimal atau belum tersusun secara sistematis, baru kemudian para ulama berikutnya yang meng-istinbâth-kan kaidah-kaidah dari metode mereka tentang penerimaan hadis, pengetahuan periwayat yang riwayatnya dapat dipegangi atau tidak, syarat dan metode periwayatan, kaidah-kaidah al-Jarh wa al-Ta’di>l dan sebagainya.
Periodisasi sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis di jelaskan oleh Nur al-Din ‘Itr dalam kitabnya Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits yang dikutip dalam Dr. Idri, M.Ag[15]sebagai berikut:
1.      Masa pertumbuhan sejak masa sahabat sampai akhir abad I H. Pada periode ini dikenal dengan istilah Hadis Maqbul dan Hadis Mardu|d. Ini ditandai dengan usaha-usaha sahabat dalam menjaga hadis dengan langkah-langkah:
·         Membersihkan jiwa dan menguatakan tekad
·         Memperkuat agama
·         Memandang hadis sebagai salah satu pilar Islam
·         Menyampaikan amanat Nabi
Untuk mengaplikasikan hal-hal tersebut, mereka melakukan : 1) tidak memperbanyak periwayatan hadis;  2) berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis; 3) melakukan kritik terhadap hadis dan diriwayatkan dengan alat ukur nash-nash dan kaidah-kaidah agama.
2.      Masa penyempurnaan di mulai sejak awal abad II H sampai awal abad III H. Penyempurnaan dilakukan berdasarkan beberapa alasan:
·        Semakin melemahya kemampuan hafalan umat Islam
·        Semakin panjang dan bercabangya sanad
·        Sudah tumbuh beberapa fraksi atau sekte yang menyimpang.
Atas adanya perintah tersebut para ulama pelestari dan penjaga keautentikan hadis dan melakukan langkah-langkah ; 1) mengkodifikasikan hadis, 2) memperluasan cakupan al-Jarh wa al-Ta’di>l, 3) menunda menerima hadis dari orang yang tidak ataukurang di kenal, dan 4) meneliti dan membuat kaidah- kaidah yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas suatu hadis.
Ulama yang pertama kali mempelopori pengkodifikasian hadis adalah Muhammad bin sulaiman bin Syihab al-Zuhri al-Madani (w. 124 H), ulama besar negeri Syam dan Hijaz atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azis yang masih sempat menjabat pada waktu itu.[16]
3.      Masa pembukuan ilmu hadis secara independen, dimulai sejak abad III sampai pertengahan abad IV Hijriah. Pada masa ini masing-masing ilmu hadis menjadi ilmu yang spesifik (khas) seperti tentang hadis murshal, hadis shahih, dan lain-lain. Pada masa inibermuncullah kitab Ilmu hadis diantaranya:
Ø  Tarikh al-Ruwath disusun oleh Yahya bin Ma’in.
Ø  Al-Tarikh al-Khabir disusun oleh Al-Bukhariy
Ø  Al-‘Ilal wa Ma’rifa al-Rijal dan Al- Nasikh wal al-Mansukh disusun oleh Ahmad bin Hanbal.
4.      Masa penyusunan ilmu hadis secara komprehensif dan melimpahnya kegiatan pembukuan ilmu hadis. Masa ini dimulai sejak pertengahan abad ke IV sampai abad VII Hijriah. Pada masa ini para ulama giat melakukan penyusunan ilmu hadis sebagaimana pendahulu mereka, kemudian mengumpulkan sesuatu yang berbeda ke dalam suatu bidang dan menyisipkan apa saja yang belum diungkap atau dibahas. Bermuncullah kita-kitab ilmu hadis, diantaranya sebagai berikut:
Ø  Al- Muhaddits al-Fashil Bayn al-Rawiy wa al-Wa’iy disusun oleh Al-Qadhiy Abu Muhammad al-Ramaharmuzy al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibnu Khallad (w. 360 H ).
Ø  Al-Kifayah fiy ‘Ilm al-Riwayah disusun oleh Abu Bakr Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Aliy al-Khatib al-Bagdadiy (w. 463 H ).
Ø  Al-Ilma’fiy al-‘Ulum al-Riwayah wa al-Sima’ disusun oleh  Al-Qadhiy ‘Iyadh ibn Musa al- Yahshubiy (w. 544 H ).
Ø  Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits disusun oleh al-HakimAbu ‘Abdullah al-Naisaburiy (w. 405 H).
5.      Masa kematangan dan kesempurnaan dalam kodifikasi ilmu hadis, dimulai sejak abad VII sampai abad X Hijriah. Pada masa ini meskipun ilmu hadis sudah relatif mapan, tetapi banyak ulama yang melakukan ijtihad dalam menetapkan dan merumuskan kaidah-kaidah ilmiah ilmu  hadis, bahkan dari ijtihad mereka tersebut ada yang berbeda dengan ketentuan ilmu hadis yang sudah mapan tadi.
Pada periode ini yang mepelopori  perkembangan kajian Ilmu hadis mencapai puncaknya ketika Abu ‘amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman al-Syahrazuri (w 643 H) menulis karya ilmiah yang sangat monumental, ‘Ulum al-hadits yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibnu al-Shalah. Ada 33 kitab yng membahas kitab Ibnu Shala>h tersebut berupa ikhtisar (ringkasan) syarah (Ulasan), nazm (Puisi, syair) dan mu’aradhah sehingga dapat dijadikan pegangan generasi-generasi berikutnya.[17] Banyak kitab penting yang disusun sesudah ‘Ulum al-Hadi>ts ini, diantarnya:
Ø  Al-Irsyad disusun oleh Yahya ibn Syaraf al-Nawawiy ( w.676 H).
Ø  Fath al-Mughits : Syarh Alfiyah al-‘Iraqiy fiy ‘Ilm al-Hadits disusun oleh al-Hafizh Syams al-Din Muhammad al-Sakhawiy ( w. 902 H ).
Ø  Tadrib al-Rawiy : Syarh Taqrib al-Nawawiy disusun oleh Al-Hafizh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthiy (w. 911 H ).
Ø  Nukhbat al-Fikr disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalaniy.
6.      Masa statis yang dimulai sejak abad X sampai XIV Hijriah. Pada masa ini kreatifitas dan aktifitas jihad terhenti, baik dalam penyusunan apalagi dalam masalah dalam masalah-masalah ilmiah ilmu hadis. Kegiatan yang ada terbatas pada peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiah. Ini diakibatkan oleh derasnya arus pengaruh kolonialisme dan materialisme dari dunia Barat (Eropa). Eksistensi hadis mulai dikaburkan oleh orientalis dan diterima begitu saja oleh orang-orang yang mudah terbawa arus dan ikut serta mengumandangkannnya. Kondisi ini menuntut disusunnya kitab yang menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan-kedustaan mereka. Bangkitlah para ulama menyusun kitab susunannya mengalami pembaharuan.[18]Diantara kitab yang sempat disusun pada masa ini yaitu:
Ø  Qawaid al-Tahdi>s disusun oleh Syaikh Jamal al-Din al-Qasimiy.
Ø  Miftah al-Sunnah Aw Tarikh Funun al-Hadits disusun oleh ‘Abdul al-‘Azis al-Khuliy.
Ø  Al- Hadi>ts wa al-Muhadditsun di susun oleh Dr. Muhammad Abu Shaw.
Ø  Manhaj al-Hadis fiy ‘Ulum al-Hadi>ts disusun oleh Dr. Syaikh Muhammad Muhammad al-Simahiy.
Dalam sejarah perkembangan Ilmu Hadis, ilmu ini mempunyai beberapa cabang ilmu. Menurut al-Hakim al-Naisabury (321-405 H) sebagaiman dikutip ‘Ajjaj al-Khatib, cabang ilmu hadis ada 52 macam. Ibnu al-Shalah menyebutkan cabang ilmu hadis ada 65 cabang. Al-Suyuthi berkata ilmu hadis tidak terhitung jumlahnya. Menurut Muhammad ibn Nasr al-Hasiymi, menyatakan bahwa ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam.[19]Dibeberapa kitab ada yang membagi kedalam 3 obyek pembahasan, yaitu lebih khusus berpangkal pada sanad, matan dan keduanya. Dengan rincian sebagai berikut:[20]
·         Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad, antara lain:
-          Ilmu Rija>lil al-Hadi>ts
-          ‘Ilmu Thabaqhat ar-Ruwah
-          ‘Ilmu Tari>kh Rija>lil al-Hadi>ts
-          ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil
·         Cabang-cabang yang berpangkal pada matan antara lain:
-          ‘lmu Ghari>bi al-Hadi>ts
-          ‘Ilmu Asbabi al-Wurud al-Hadi>ts
-          ‘Ilmu Tawarikh al-Mutun
-          ‘Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
-          ‘Ilmu Talfiq al-Hadits
·         Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad dan matan
-          ‘Ilmu ‘Illal al-Hadi>ts.
Namun, pada pemakalah hanya membahas beberapa ilmu tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1.      ‘Ilmu Rijal al-Hadits.
Kata Rijal adalah bentuk jamak. Mufradnya adalah rijal. Ia berarti “ laki”[21]. Jadi, ‘Ilmu Rijal al-Hadits  secara etimologi berarti ilmu tentang laki-laki (tokoh- tokoh atau ulama) hadis. Namun, secara terminologi diartikan sebagai :
“Ilmu yang membahas tentang periwayat-periwayat hadis dari sahabat, tabi’in, dan lain-lain.”[22]
Dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan periwayat hadis, baik periwayat yang menerima lansung hadis dari Nabi Muhammad, yaitu sahabat, maupun peeriwayat yang menerima hadis dari sahabat dan lain-lainnya.
Dalam ilmu ini biasanya dijelaskan biografi singkat dari periwayat, aliran yang akan diikutinya, dan bagaimana keadaan mereka dalam menyampaikan dan menerima hadis. Ilmu ini sangat penting kedudukannya, karena objek kajiannya adalah sanad dan matan. Ilmu ini secara khusus membahas dan mengkaji persoalan periwayatan hadis.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat, ada yang menerangkan riwayat umum para perawi-perawi, ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pembuat hadits maudlu’, ada yang menerangkan sebab-sebab dicatat, dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu martabat-martabat perkataan, ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan, berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadits disebut Marfu’ dan Mukhtalif, ada yang menerangkan nama-nama perawi  yang sama namanya, lain orangnya. Umpamanya, Khalil ibn Ahmad, nama ini banyak orangnya, ini dinamakan Muttafiq dan Muftariq. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa, misalnya Muhammadibn Aqil dan Muhammad ibn ‘Uqail , ini dinamakan Musytabah. Ada juga hanya menyebut tanggal wafatnya, dan ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau beberapa kitab saja.[23]
Tokoh yang dinilai sebagai orang yang pertama menyusun ilmu ini adalah, al-Bukhariy (w. 256 H ), dengan kitabnya al- Ta>rikh al-Khabir disusul oleh Muhammad ibn Sa’ad (w. 230 H), dengan kitabnya berjudul al-Thabaqat, kemudian sesudahnya bankit beberapa ulam hadis menyusun kitab.[24]
2.      ‘Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Pada hakikatnya ilmu ini merupakan bagian dari Ilmu Rijalil al-Hadits, akan tetapi karena bahagian ini dipandang suatu bahagian penting, maka dipandanglah sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Secara etimologi, al- Jarh berarti “melukai”[25] dan ta’dil  berarti ‘’meluruskan.’’ Namun, secara terminologi, diartikan sebagai “Ilmu yang membahas tentang cacat periwayat-periwayat dan keadilannya dengan menggunakan kata-kata khusus dan martabat kata-kata tersebut.”
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil ini muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan hadis, karena itu untuk mengetahui hadis shahih harus didahului dengan mengetahui periwayatnya, pengetahui pendapat kritikus periwayat tentang jujur atau tidaknya periwayat sehingga memungkinkan dapat membedakan hadis yang dapat diterima atau ditolak. Karena itu, para ulama hadis mengkaji tentang para periwayat hadis, mengikuti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui seluruh hal ihwal mereka, menelaah dengan cermat sehingga diketahui para periwayat yang sangat kuat hafalannya, yang dhabith, yang lebih lama berguru pada seseorang, dan sebagainya.
Ada beberapa syarat Ulama dalam melakukan al-Jarh dan al-Ta’di>l diantaranya:[26]
a.       Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur.
b.      Ia mengetahui sebab-sebab al-Jarh dan al-Ta’di>l
c.       Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehinnga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya atau men-jarh  dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.
Dalam melakukan jarh dan ta’dil, para ulama hadis menempuh beberapa metode sebagai berikut:[27]
a.       Bersikap amanah dan menjelaskan para periwayat apa adanya
b.      Bersifat mendetail dalam mengkaji dan menghukumi keberadaan periwayat.
c.       Menerapkan etika dalam melakukan penilaian negatif (men-Tarjif).
d.      Dalam men-Ta’dil dilakukan dan dalam men-tarjihkan dilakukan secara terperinci.
Pertentangan yang sering terjadi dikalangan ulama hadis mengenai jarh dan ta’di>l. Pendapat yang shahih yang dikutip al-Kahtib al-Bagdhadi dari jumhur ulama dan di shahihkan oleh Ibnu al-Shalah dan sebagian muhaddits yang lain serta sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa  jarh  didahulukan atas ta’dil meskipun yang men-ta’dil itu lebih banyak. Ini karena orang yang men-ta’dil hanya memberitakan karakteristik yang tampak baginya, sedangkan orang yang men-jarh memberikan karakteristik yang tidak tampak dan samar bagi orang yang men-ta’dil. Namun kaidah ini tidak menunjukkan kemutlakan harus didahulukannya jarh. Terkadang kita dapatkan mereka mendahulukan ta’dil atas jarh. Dapatlah kita katakan bahwa kaidah ini terbata dengan syarat-syarat sebagai berikut: [28]
a.       Jarh harus dijelaskan dan harus memenuhi semua syarat-syaratnya.
b.      Orang yang men-Jarh tidak sentimen terhadap orang yang di jarh atau mempersulit dalam men-jarh.
c.       Pen-ta’dil  tidak menjelaskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi yang bersangkutan.
Oleh sebab itu kita harus memahami batas-batas kaidah didahulukannya jarh atas ta’dil. Telah banyak pembahas yang tergelincir  karena lalai akan batasan dan perincian ini karena mereka menduga bawa mutlak jarh  didahulukan atas ta’dil oleh  siapa pun dan terhadap rawi mana pun, sehingga mereka terperosot sendiri dalam kesalahan.
Ilmu ini muncul sesudah akhir masa tabi’in, kira-kira pada tahun 150 H. Diantara ulama besar yang memberikan perhatian yang lebih pada ilmu ini yaitu Yahya ibn Sa’id al-Qaththan ( w. 189 H), dan Abdur Rahman ibn Mahdy  ( w. 198 H ), sesudah itu disusul lagi oleh ulama-ulama yang lainnya.[29]
3.      ‘Ilmu ‘Illal al-Hadits
Kata ‘ilal adalah bentuk jamak dari kata ‘illah,yang berarti ”sakit, sebab, alasan, dan uzur”.[30] Namun secara terminologi yaitu “ sebab tersembunyi yang merusak hadis yang nampak tidak ada kerusakan”.[31]
Dari pengertian secara terminologi tersebut maka, dapat diketahui bahwa ilmu ini membahas tentang, kerusakan (cacat)  yang samar dan tersembunyi dari hadis. Jadi, suatu hadis mungkin saja  kelihatan tidak memiliki cacat, setelah diteliti secara mendalam baru tampak cacatnya yang menjadi sebab tidak shahih.[32]
Cara mengetahui ‘illat suatu hadis adalah dengan menghimpun semua sanad yang berkaitan dengan hadis yang diteliti untuk mengetahui apakah hadis yang bersangkutan memilki tawabi’, atau syawa>hid, atau tidak. Kemudian, dengan seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad yang diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat dan ‘illat hadis. Dengan demikian, kita dapat mengetahui hadis yang memilki ‘illat atau tidak.[33]
Para ulama hadis sanagt memperhatikan ilmu ‘illal al-Ha>dits, mereka berusaha menyeleksi sanad hadis, mengadakan pertemuan ulama dan berdialog serta mendengarkan pendapat mereka. Semua cara ini dimaksudkan untuk membedakan antara hadis yang shahih, hadis yang da’if,  yang tidak mengandung ‘illat , syadz ( kejanggalan), dan yang tidak.
Mereka menulis kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini, semenjak akhir abad kedua dan awal abad ketiga Hijriah dan seterusnya. Diantaranya , kitab al-Tari>kh wa al-‘Ilal karya Yahya ibn Mu’in, kitab ‘Illal al-Hadi>ts karya Ahmad bin Hanba>l, dan seterusnya.[34]
4.      Ilm Mukhtalif al-Hadits
Kata mukhtalif secara etimologi berarti “berselisih, tidak sepaham, meletakkan dibelakang, mengambil dari belakang”.[35]
Menurut al-Zarkasy Mukhtalaf adalah :
تقا بل الد ليلين علي سبيل المما نعة
Perbandingan dua dalil dengan cara saling menghalangi bertolak belakang
Namun, secara terminologi yaitu “ Ilmu yang membahas tentang hadis yang tampak bertentangan, maka hilanglah pertentangannya atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana juga membahas tentang hadis yang mengalami problema pemahaman atau gambaran, maka dihilangkan problemanya atau dijelaskan hakikatnya”. [36]
Dengan Ilmu ini, hadis yang tampak bertentangan satu dengan yang lainnya dapat dibatasi pertentangannya, baik dengan cara di kompromikannya, men-tarjih, men-taqyidkan yang muthlaq, maupun dengan cara lain. Oleh karena itu ulama memberikan nama lain, contohnya seperti Musykil al-Hadits, Ta’wil al-Hadits, atau Talfiq al-Hadits.[37]
5.      ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadits
Kata asbab adalah bentuk jamak dari kata sabab. Ia berarti “ sebab, alasan, washilah, perantaraan”.[38] Kata wurud  berarti “ datang, sampai.”[39] Secara terminologi ilmu ini diartikan sebagai “Ilmu yang menerangkan sebab muncul/ datangnya hadis dan munasabanhya.”[40]
Ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah yang menerangkan tentang latar belakang dan sebab-sebab adanya hadis. Mengetahui peristiwa yang menjadi latar belakang disampaikannya suatu hadis, sangat penting untuk untuk membantu mendapatkan pemahaman hadis secara sempurna. Pemahaman hadis dilihat dari segi saba>b wuru>d, dikalangan ulama ada yang mendahulukan sebab atau latar belakang tetapi ada pula yang mendahulukan keumuman redaksi (lafal) hadis.[41] Ilmu ini mempunyai keterkaitan yang begitu erat dengan ilmu al-Na>sik>h wa al-Mansu>kh, karena mengetahui asba>bul wurud hadis sehinnga dapat diketahui hadis yang menasakh dan yang dinasakh, hadis yang terdahulu dan yang kemudian.
 Diantara kitab tentang “ilm Asbab Wurud al-Hadits yaitu Kitab al-Bayan wa Ta’rif Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif disusun oleh Ibn Hamzah al-Husayniy al-Dimasyqiy (w. 1120 H ).
6.      ‘Ilm al-Nasikh wa al-Mansukh
Secara etimologi, kata al-Nasikh dan mansukh bersal dari kata nasakh  berarti “menghilangkan, menghapus, membatalakan, menukilkan, dan menyalin.”[42] Kata al-naskah  memiliki beberapa makna diantaranya al-Iza>lah (menghilangkan), al-Tabdi>l ( mengganti ), al-Tahwi>l (mengalihkan), dan al-Naql (memindahkan).[43]Menurut Abu Hafs nasakh mempunyai dua defenisi yaitu: 1) nasakh berarti penjelasan tentang berakhirnya hukum syara’ melalui jalan hukum syara’ karena adanya rentang waktu. Maka dalam hal ini hukum pertama menjadi mansukh karena batas waktunya telah tiba dan persamaan dengan itu datang hukum lain sebagai pengganti. 2) nasakh adalah penghapusan suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ karena adanya rentang waktu.[44]Dengan demikian, nasikh adalah dalil atau hukum syara’ yang datang kemudian sebagai pengganti hukum yang telah ada sebelumnya. Adapun mansu>kh secara bahasa berarti sesuatu yang dihapus, dihilangkan, dipindah atau disalin. Menurut para ulama menyatakan bahwa Mansu>kh adalah hukum syara’ yang berasal dari dalil syara’ yang pertama yang diubah atau yang dibatalkan oleh hukum dari dalil syara’ yang baru.[45]
Namun, secara terminologi “ Ilmu yang membahas hadis-hadis yang (nampak) bertentangan yang tidak dapt di kompromikan, lalu sebagaimana dipandang nasikh dan sebagainya  (yang lain) dipandang mansukh.”
Didalam al-qur’an juga dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 106:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Terjemahannya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu[46]
Ilmu ini sangat bermanfaat dengan ilmu ini kita dapat mengetahui hadis yang terdahulu muncul sebelum muncul hadis yang lain. Ilmu ini sangat dibutuhkan dalam mmenyempurnakan ijtihad. Sehingga para sahabat, tabi’in dan ulama yang lain memberikan perhatian padanya dengan perhatian yang besar, mengetahui nasi>kh dan mansu>kh merupakan keharusan juga bagi seseorang yang ingin menkaji hukum-hkum syari’ah, karena tidak mungkin men-istinbath-kan dan meyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil  nasikh dan dalil-dalil mansu>kh. Oleh karena itu ulama menganggap bahwa ilmu ini amatlah penting dalam ilmu hadis.
Diantara kitab yang disusun mengenai Ilmu ini adalah; al-Nasikh wa Al-Mansukh disusun oleh Qatadah ibn Diamahal-Sadusiy ( w.118); Nasikh al-Hadits wa Mansukhuku  disusun oleh al-Hafizh Abu Hafash ‘Umar ibn Ahmad al-Bagdhady ibn Syahim ( w. 385 H ); Al-I’tibar bi al-Nasikh wa al-Mansukh nin al-Atsar  disusun oleh Al-Hafizh al-Hazimiy al-Hamzaniy (w. 584 H ).   
C.   Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadis
Secara garis besar, menurut kajian ulama Mutaakhiru>n Imu Hadis terbagi menjadi dua, yaitu Ilmu Hadis Riwa>yah dan Ilmu Hadis Dira>yah.
1.      Ilmu Hadis Riwa>yah
a.       Pengertian Ilmu Hadis Riwa>yah
Secara etimologi kata riwa>yah berarti “meriwayatkan; kabar; berita; menceritakan”[47]Jadi dengan demikian, Ilmhu Hadis Riwa>yah adalah pengetahuan tentang periwayatan dan pemberitaan tentang hadis Nabi Muhammad SAW. Namun secara terminologi banyak defenisi yang diungkapkan oleh ahli hadis, diantaranya :
Ø  Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefenisikan Ilmu Hadis Riwa>yah adalah “Ilmu penengatahuan yang mengkaji tentang segala yang disandarkan pada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau psikis dengan penkajian yang detail dan terperinci.”[48]
Ø  Muhammad Abu> Syihab dalam kitabnya mendefinisikan Ilmu Hadis Riwa>yah adalah “ Ilmu pengetahuan yang mencakup (pembahasan) tentang sesuatu yang di nukil dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan/ ketetapan, ataupun sifat fisik dan psikis.”[49]
Ø  Ibnu Akfani berkata :
علم الحدث الخا ص با لرواية : علم يشتمل على عقوال النبي ص م و أفعاله,و روايتها وضبطها وتحرير الفاظها[50]
“ Ilmu hadits khusus riwayat ialah: Ilmu yang melengkapi penukilan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatannya, periwayat-periwayat hadits, pengdha-bitannya dan penguraian lafadh – lafadhnya.’’
Namun defenisi ini dikritik, karena tidak komprehensip dan tidak memasukkan taqrir dan sifat-sifat ( hal ihwal ) Nabi Muhammad SAW; sebagaimana defenisi ini juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini cukup segala apa yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi’in.
Oleh karena itu, pengertian secara lengkap dari Ilmu Hadis Riwayah adalah: “ Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat –sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan pencatatannya serta penelitian lafal – lafalnya.”[51]
Perintis pertama Ilmu hadis Riwa>yah ini adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry  (124 H).[52]
b.      Objek Kajian Ilmu Hadis Riwa>yah
Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh ahli diatas maka dapat kami simpulkan bahwa objek kajiannya adalah berkisar tentang:
Ø  Mengkaji tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat fisik atau psikis.
Ø  Pengkajian dilakukan secara detail dan terperinci,
Ø  Pengkajian dan pengutipan dilakukan secara bebas dan cermat,
Ø  Mengkaji pula segala yang disandarkan pada sahabat, dan tabi’in.
2.      Ilmu Hadis Dirayah
a.       Pengertian Ilmu Hadis Dirayah
Secara etimologi, kata Dirayah berarti, “pengertian, pengetahuan dan pemahaman.”[53]Namun secara terminologi, ada beberapa redaksi defenisi yang dikemukakan oleh ulama hadis, diantara defenisinya yaitu :
Ø  Pengarang Irsyadul Qashid yang dikutip dalam buku Pokok-pokok Ilmu Dirajah Hadiets, “Ilmu Hadis Dirayah adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui macam – macam riwayat, hukum –hukmnya, syarat–syarat perawi, sifat –sifat hadis yang diriwayatkan, dan cara – cara menanggapi ma’nanya.[54]
Ø  Menurut as – Suyuthi Ilmu Hadis Dirayah adalah “ ilmu yang mempunyai beberapa kaidah, yang dengannya dapat diketahui keadaan matan dan sanad,  maka objek dan maksud itu adalah mengetahui yang diterima atau yang ditolak.”[55]
Ø  ‘Izz al – Din ibn Jama’ah yang di kutip dalam buku Metodologi Kajian Hadis, meringkas defenisi Ilmu Hadis Dirayah adalah “ Ilmu tentang kaidah – kaidah yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan.”[56]
Ø  Ibn al- Akfany menjelaskan bahwa Ilmu Hadis khusus Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat periwayatn, syarat–syarat, macam–macam, dan hukum–hukumnya, serta keadaan para periwayat dan syarat–syarat mereka, jenis–jenis yang diriwayatkan dan segala yang terkait dengannya.[57]
As–Suyuthi menjelaskan maksud dari definisi diatas. Hakikat periwayatan artinya kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan menggunakan sighat al-Ada’, seperti haddatsana, akhbarana, dan sami’tu. Syarat–syarat periwayatan adalah cara penyampaian dan penerimaan hadis, dalam kitab ilmu hadis periwayatan hadis ada 8:[58]
Ø  Al-Sama’ atau al-sama’ al-Syaikh yaitu penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis (syaikh). Cara periwayatan ini mayoritas ulama hadis di nilai sebagai cara yang tertinggi kualitasnya.
Ø  Al-qira’ah atau al-qira’ah ala syaikh yaitu yakni periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara periwayat hadis itu sendiri yang membaca atau orang lain yang membacanya dan dia mendengarkan.
Ø  Al-Ijazah yaitu guru hadis memberikan izin kepada seorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik secara lisan ataupun secara tulisan. Mayoritas ulama menilai bahwa untuk jenis ijazah tertentu cukup terpercaya untuk periwayatan hadis.
Ø  Al- Munawalah  terbagi atas 2 yaitu al-munawalah bersamaan dengan al-ijazah, dan al- munawalah yang tidak bersamaan dengan ijazah, yakni pemberian kitab hadis oleh guru hadis kepada muridnya sambil berucap “ini hadis yang telah saya dengar”, atau “ini hadis yang telah saya riwayatkan.” Guru hadis tadi tidak menyatakan agar ‘’hadisnya’’ itu diriwayatkan ulama pada umumnya tidak membenarkan periwayatan dengan al-munawalah tanpa di ikuti ijazah.
Ø  Al-Mukhatabah yaitu guru hadis menuliskan hadis yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik tulisan guru sendiri atau pun tulisan orang lain atas permintaan guru tersebut, dihadapan orang yang diberi hadis ataupun berada ditempat lain. Umumnya ulama membolehkan cara tersebut sebagai cara periwayatan hadis.
Ø  Al-I’lam yaitu guru hadis memberitahukan kepada muridnya, hadis atau kitab hadis yng telah diterimanya dari periwayatannya misalnya melalui asma’ , tanpa di ikuti pernyataan agar muridnya tadi meriwayatkannya lebih lanjut.
Ø  Al- wasyiah yaitu seorang periwayat hadis meriwayatkn hadis mewasiatkan kitab hadis yang diriwayatkannya kepada orang lain dalam waktu yang ditentukan. Sebagian ulama membolehkannya.
Ø  Al-Wijadah yaitu seseorang dengan tidak melalui cara al- asma’, mendapati hadis yang ditulis periwayatannya, baik dia semasa ataupun tidak semasa dengan orang yang menulis hadis tersebut pernah bertemu ataupun tidak, dan pernah meriwayatkan atau pun tidak meriwayatkan hadis dari penulis yang di maksud.
Macam –macam periwayatan adalah bersambung atau putus periwayatan. Hukum-hukum periwayatan adalah diterima karena memenuhi syarat-syarat tertentu atau ditolak karena adanya persyaratan yang tidak terpenuhi. Keadaan para periwayat yaitu keadilan, ke-dhabith-an, tidak adil dan tidak dhabith. Syarat-syarat mereka adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika periwayat menerima dan menyampaikan hadis. Jenis- jenis yang diriwayatkan adalah penulisan hadis di dalam kitab al-Musnad, al-Shahih, dan al-Sunan.[59]Sebagai perintis pertama ilmu ini adalah al-Qadli Abu Muhammad ar-Ramahurmuzy  ( w. 360 H )
b.      Objek Kajian Ilmu Hadis Dirayah
Berdasarkan beberapa defenisi mengenai Ilmu Hadis Dirayah tersebut, dapat disimpulkan bahwa objek kajiannya adalah sanad dan matan hadis.
Setelah kita mengamati berbagai penjelasan tentang Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dira>yah, maka dapat kita simpulkan bahwa diantara keduanya memilki kesamaan,yaitu keduanya mengfokuskan pembahasannya pada Hadis Nabi baik susunan sanad maupun matannya. Ada pun perbedaannya yaitu:
·         Ilmu Hadis Riwa>yah ;
-          Pembahasannya di titik berat kan pada cara-cara penerimaan dan penyampaian hadis atau penukilan dan pembukuannya.
-          Hadis yang diteliti apa adanya sesuai dengan teks sanad dan matannya.
-          Penelitian terhadap hadis bertujuan untuk menjaga hadis Nabi dari kesalahan penukilan ( menjaga orisinalitas hadis ).
-          Hasil penelitiannya tidak menampakkan adanya kritik terhadap hadis baik terhadap sanad maupun matannya sehingga tidak memberikan kejelasan tentang status hadis apakah shahih, hasan, atau dha’if.
·         Ilmu Hadis Dira>yah ;
-          Pembahasannya lebih mengfokuskan pada hakikat, syarat-syarat, macam-macam, hukum-hukum periwayatan dan keadaan serta syarat-syarat periwayat.
-          Penelitian terhadap hadis dilakukan pada keadaan sanad dan matanhadis bahwa keadaan sanad dan matan harus dapat diuji kebenarannya secara ilmiah.
-          Penelitian hadis bertujuan untuk mengetahui apakah hadis akan diterima atau ditolak.
-          Hasil penelitiannya menampakkan adanya kritik terhadap kualitas sanad dan matan hadis sehingga menampakkan adanya kritik terhadap kualitas sanad dan matan hadis sehingga dapat memberikan kejelasan tentang status hadis apakah shahih, hasan atau dha’if. [60]
Dengan demikian, Ilmu Hadis Riwa>yah merupakan penerapan praktis dari Ilmu Hadis Dira>yah.
3.      Gelar Keahlian bagi Imam-Imam Rawi Hadits
Para imam Hadits mendapat gelar keahlian dalam bidang ilmu Hadits sesuai denagn keahlian, kemahiran, dan kemampuan menghafal beribu-ribu buah hadits beserta ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu diantaranya:[61]
a.       Amirul’l-Mu’minin fi’l-Hadits
Gelar  ini sebenarnya diberikan kepada para khalifah setelah  Khalifah Abu Bakar ash-Siddiq r.a. Para khalifah diberikan gelaran demikian mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahwa khalifah ialah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan Haditsnya. Para muhadditsin di masa itu seolah-olah berfungsi sebagai seorang khalifah dalam menyampaikan sunnah. Mereka yang pada memperoleh gelar tersebut adalah: Syu’bah ibn al-Hajjaj; Sufyan ats-Sauri; Ishaq bin Rahawih; Ahmad bin Hanbal; al-Bukhari; ad-Dha>ruquthuny dan Imam Muslim.
b.      Al-Hakim
Merupakan suatu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh hadits yang marwihnya (diriwayatkan), baik matan, maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji), dan tarjih (tercela)nya rawi-rawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak.beliau harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Para Muhadditsin yang mendapat gelaran ini diantarnya: Ibnu Dinar (w. 162 H); al-Laits bin Sa’ad; Imam Malik dan  Imam Syafi’i.
c.       Al-Hujjah
Merupakan gelar yang diberikan kepada imam yang keahliannya snaggup menghafal 300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal sirawi tentang ke’adilannya, keadilan dan biografinya (riwayat hidupnya). Para Muhadditsin yang mendapat gelar ini diantaranya: Hisyam bin ‘Urwah (w. 146 H); Abu Hudzail bin Walid (w. 149 H); dan Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amr (w. 242 H).
d.      Al-Hafidh
Merupakan gelaran bagi para ahli Hadits yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadits dan dapat di ta’dilkan dan men-jarh-kan rawinya. Beliau harus menghafal hadits-hadits shahih, mengetahui rawinya yang waham (banyak buruk sangka), ‘illat-illat Hadits dan istilah-istilah para Muhadditsin. Menurut sebagian pendapat, Al-Hafidh itu harus mempunyai kapasitas 100.000 hadits. Para Muhadditsin yang mendapat gelaran ini antara lain ialah: Al-‘Iraqy, Syarafuddin Ad- Dimyathy; Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniu dan Ibnu Daqiqi’l-‘id.
e.       Al-Muhaddits
Menurut Muhadditsin mutaqaddimin Al-Hafidh dan al-Muhaddits itu searti. Tetapi menurut Mutaakhkhirin, al-Hafidh itu lebih khusus daripada daripada Muhadditsin. Kata At- Taju’s-Subhi: “al-Muhaddits adalah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, ‘illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ‘ali (tinggi), dan nazil (rendah)nya suatu hadits, memahami Kutub’s-sittah, Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, Mu’jam ath-Tabraniy, dan menghafal hadits sekurang-kurangnya 1000 buah. Muhadditsin yang mendapat gelaran ini adalah: ‘Atha’ bin Abi Rabiah (115 H) dan Imam az-Zabidiy.
f.        Al- Musnid
Merupakan gelaran yang diberikan kepada yang memiliki keahlian bagi orang yang meriwayatkan hadis beserta sanadnya. Baik menguasai Ilmunya maupun tidak . Al- Musnid juga disebut dengan at-Thalib, al-Mubthadi’ dan ar-Rawy.
D.  Manfaat dari Mempelajari Ilmu Hadits
Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadits antara lain :[62]
1.      Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah  secara benar.
2.      Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan
3.       Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan
4.      Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.
5.      Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan melestarikan hadits Nabi.
6.      Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama hadits.
7.      Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan kaadaan hadist, baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya.
8.      Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak).
9.       Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para ulama.
10.  Mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits Nabi saw.
                                                    BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
·         Ilmu Hadi>ts merupakan segala ilmu  yang membahas atau menkaji hadis Nabi Muhammad SAW.
·         Dalam sejarah perkembangan Ilmu Hadis, ulama hadis pada umumnya memberikan perhatian yang lebih,  guna meningkatkan kualitas, keotentikan serta keorisinalitas hadis itu sendiri. Terbukti dalam sejarah perkembangan Ilmu itu sendiri, meski dibeberapa periode atau zaman ada sedikit hambatan dikarenakan beberapa faktor baik dari kalangan umat Islam itu sendiri maupun dari luar, atau suasana pada zaman tersebut. Dalam sejarah juga menjelaskan beberapa ilmu yang berkembang pada waktu itu diantaranya:
-          Ilmu Rija>lil al-Hadi>ts
-           ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil
-           ‘Ilmu Asbabi al-Wurud al-Hadi>ts
-           ‘Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
-           ‘Ilmu ‘Illal al-Hadi>ts.
Dan masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada zaman tersebut. Dengan dedikasi yang tinggi dilakukan oleh ulama hadis tersebut sehingga kita dapat merasakan manfaat ilmu itu sampai saat ini.
·         Ruang lingkup pembahasan Ilmu Hadis ada 2 yaitu:
-          Ilmu Hadis Riwayah merupakan “Ilmu penengatahuan yang mengkaji tentang segala yang disandarkan pada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau psikis dengan penkajian yang detail dan terperinci. Yang menjadi objek kajian dari ilmu ini adalah pembahasannya di titik berat kan pada cara-cara penerimaan dan penyampaian hadis atau penukilan dan pembukuannya.
-          Ilmu Hadis Dirayah merupakan  “ Ilmu tentang kaidah – kaidah yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan.” Objek kajiannya adalah  lebih mengfokuskan pada hakikat, syarat-syarat, macam-macam, hukum-hukum periwayatan dan keadaan serta syarat-syarat periwayat.

B.   Implikasi.
Demikianlah makalah yang peneliti dapat sajikan sesuai dengan batas  kemampuan peneliti, dengan harapan mudah-mudahan apa yang peneliti sajikan ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca dan bagi diri pribadi peneliti khususnya sehingga kelak bisa menjadi bahan pembelajaran ketika menyusun makalah yang serupa dikemudian hari.
Peniliti pun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak sekali kesalahan, kekurangan, dan kekeliruan bahkan sangat jauh dari standar penulisan karya ilmiah sehingga penulis mengharapkan ada fit back  atau umpan balik dari para pembaca berupa kritikan, saran, pemikiran, dan ide-ide yang sifatnya membangun guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan peneliti. Demikianlah semoga benilai ibadah disisi-Nya.
Semoga kajian ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca khususnya penulis.








DAFTAR PUSTAKA
Abu> al-Fadl, Ahmad ibn ‘Ali> bin Hajar., Fatul al-Ba>ri> Sarhu Shahi>hu al- Bukha>ri>, Juz IX. Beirut : Da>r al-Ma’rifah. 1379.
Ahmad, Arifuddin. Qawaid Al-Tahdis., Cet;I, Makassar: Alauddin University Press, 2013.
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir., Ulumul Hadis. Badung: Pustaka Setia, 1998.
Ahmad ibn ‘Utsman ibn Shahih, Abu Hafsh ibn., al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Hadits. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.
Agama  RI, Departemen al-Qur’an dan Terjemahan ., Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, t.th.
Anas Abu> ‘Abdullah al-ashbahi, Ma>lik ibn >., Muwattha al-Ima>ma M<alik, Juz II, Mesir: Da>r Ihya> at-Turatsa al-‘Arabi>.
Azis,  H. Mahmud dan Mahmud Yunus., Ilmu Musthalahul Hadis. Cet; IX, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984 M/1404 H.
Hafid, Erwin., Hadis Nabi Menurut perspektif Muhammad al-Gazali dan Yusuf al-Qarawi>. Cet;I, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Idri. Studi Hadis., Cet; I, Jakarta: Kencana, 2010.
Ismail, Syuhudi., Pengantar Ilmu Hadis.  Bandung : Angkasa, 1991.
Ismail, M. Syuhudi., Kaidah Keshahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah.  Cet; I. Jakarta : Bulan Bintang,1998.
Jayadi.,  Metodologi Kajian Hadist . Makassar: Alauddin University Prress, 2012.
Khatib, Muhammad ‘Ajjaj al-Sunnah qabl al-Tadwi>n.Beirut: Da>r al-Fikr, 1971M.
Khatib, Muhammad ‘Ajjaj., Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul  ( Beirut : Da>r al-Fikr 1989 M.
Khon, Abd.Majid., Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah, 2008 .
Maliki, Muhammad Alawi., Ilmu Ushul Hadis. Cet; III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Mahmud Idris,  ‘Abd. Al-Fath., al-Mausu’ah al-Islamiah. Kairo: Majelis al-‘Ala, 2001.
Muhammad Abu> Syiha>b, Muhammad ibn., al-Wa>sith fi> ‘Ulum wa Musthalah al-Hadi>ts, Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
Mukram ibn Manzu>r, Muhammad bin., Lisan al-Arab. Mesir: Dar al-Misri>ah, t.th.
Munawwir, Ahmad Warson., Kamus al-Munawwir. Surabaya : Pustaka Progresif, 1997.
Nawawi: Imam Diterjemahkan Syarif Hade Masyah., Dasar-dasar Ilmu Hadis . Cet: II, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Nor Ichwan, Muhammad., Membahas Ilmu-Ilmu Hadis.  Semarang : Rasail Media Gruop, 2013.
Nuh , Abddullah bin dan Oemar Bakry., Kamus Arab – Indonesia – Inggeris. Cet; IV, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1974.
Nuruddin . Ulum al-Hadits., Cet; II, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Rahman, Fatcur., Ikhtisar Musthalahu’l Hadits. Yogyakarta : al- Ma’rif, t.th.
Salim, ‘Amr ‘Abd al-Mun’im., Taisir ‘Ulum al-Hadis lilmubtadiin.Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1997.
Shababagh, Muhammad., al-Hadi>ts al-Nabawi>. Riyadh : al-Maktab al-Islami, 1972M/1392 H.
Shiddiqiey, Hasbi., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet; V, Jakarta : Bulan Bintang, 1977.
Shiddieqy, M. Hasby., Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Cet: VII, Jakarta : Bulan Bintang, 1987 M .
Shiddieqy, Hasbi.,  Pokok – Pokok Ilmu Dira>jah Hadiets. Cet; III , Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Umar,  Mustafa., Antologi Hadis (Melacak Asal-Usul dan Perkembangan Hadis). Cet; I, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Qardawi, Yusuf., Kaifa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, ter. Muhammad al-Baqir, Bagaimana  Memahami Hadis Nabi saw. Bandung: Karisma, 1993.
Yunus, Mahmud Kamus Arab – Indonesia., Jakarta : Yayasan Penyelenggara  Penerjemah / Penafsir al-Qur’an, 1973.



[1] M<alik ibn Anas Abu> ‘Abdullah al-ashbahi>, Muwattha al-Ima>ma M<alik, Juz II, (Mesir: Da>r Ihya> at-Turatsa al-‘Arabi>) h. 899
[2]Erwin Hafid, Lc.,M.Th.I., M.Ed., Hadis Nabi Menurut perspektif Muhammad al-Gazali dan Yusuf al-Qarawi>, (Cet;I, Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 48-49.
[3]Mustafa Umar, S.Ag, M.Ag, Antologi Hadis (Melacak Asal-Usul dan Perkembangan Hadis), ( Cet; I, Makassar: Alauddin University Press, 2011)h.7  
[4]Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag, Qawaid Al-Tahdis (Cet;I, Makassar: Alauddin University Press, 2013) h. 7
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 966, 243
[6]Muhammad ibn Muhammad Abu> Syiha>b, al-Wa>sith fi> ‘Ulum wa Musthalah al-Hadi>ts, (Beirut : Da>r al-Fikr, t.th), h. 23
[7]Muhammad al-Shababagh, al-Hadi>ts al-Nabawi>, (Riyadh : al-Maktab al-Islami, 1972M/1392 H), h. 13.  Lihat Juga Muhammad bin Mukram ibn Manzu>r, Lisan al-Arab, Juz II  (Mesir: Dar al-Misri>ah, t.th), h. 436-439
[8]‘Amr ‘Abd al-Mun’im Salim, Taisir ‘Ulum al-Hadis lilmubtadiin, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1997)h. 12. Lihat juga Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Badung: Pustaka Setia, 1998), h. 14.
[9]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwi>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1971M), h.20
[10]Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, ter. Muhammad al-Baqir, Bagaimana  Memahami Hadis Nabi saw. (Bandung: Karisma, 1993), h. 17.
[11]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, ( Cet; I, Jakarta: Kencana, 2010), h.54
[12] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, ( Bandung : Angkasa, 1991), h.61
[13]Prof. Dr. Muhammad Alawi al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet; III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 37-38. Lihat juga Ahmad ibn ‘Ali> bin Hajar Abu> al-Fadl, Fatul al-Ba>ri> Sarhu Shahi>hu al- Bukha>ri>, Juz IX, ( Beirut : Da>r al-Ma’rifah. 1379 ), h. 306
[14]Drs. M. Jayadi M.Ag, Metodologi Kajian Hadist ( Makassar: Alauddin University Prress, 2012), h.2
[15]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,h. 80-81
[16]Muhammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, ( Semarang : Rasail Media Gruop, 2013) h. 158
[17]Imam al-Nawawi: Diterjemahkan Syarif Hade Masyah,Dasar-dasar Ilmu Hadis ( Cet: II, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 179
[18] Drs. M. Jayadi M.Ag, Metodologi Kajian Hadist, h. 20
[19]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, h. 66
[20] Drs. Fatcur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l Hadits,( Yogyakarta : al- Ma’rif, t.th), h. 57-58
[21] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 514
[22] Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Cet; V, Jakarta : Bulan Bintang, 1977), H. 153
[23] Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 153-154
[24] Drs. M. Jayadi M.Ag, Metodologi Kajian Hadist, h. 21-22
[25] Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, ( Jakarta : Yayasan Penyelenggara  Penerjemah / Penafsir al-Qur’an, 1973 ), h. 33

[26] Dr. Nuruddin ITR, Ulum al-Hadits, (Cet; II, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h.79-80
[27]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, h.71
[28] Dr. Nuruddin ITR, Ulum al-Hadits,h.86-87
[29]Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,h.155-156
[30] Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, h.276
[31]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul  ( Beirut : Da>r al-Fikr 1989 M) h.291
[32]Drs. M. Jayadi M.Ag, Metodologi Kajian Hadist, h. 23
[33]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah, ( Cet; I. Jakarta : Bulan Bintang,1998),h. 131
[34] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul, h.295-296
[35]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 391
[36]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul, h. 283
[37]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, h. 74
[38] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h.641
[39]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h.1655
[40]Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 164
[41] Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, h.77
[42] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h.1510
[43]‘Abd. Al-Fath Mahmud Idris, al-Mausu’ah al-Islamiah, ( Kairo: Majelis al-‘Ala, 2001 ), h. 1394
[44]Abu Hafsh ibn Ahmad ibn ‘Utsman ibn Shahih, al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Hadits, ( Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), h.7  
[45] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul, h.186
[46]Departemen Agama  RI, al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, t.th.), h. 17
[47]Abddullah bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab – Indonesia – Inggeris, (Cet; IV, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1974), h. 123  
[48] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwi>n,,h.58
[49] Muhammad ibn Muhammad Abu> Syiha>b, al-Wa>sith fi> ‘Ulum wa Musthalah al-Hadi>ts, h.24
[50]M. Hasby ash-Shiddieqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I ( Cet: VII, Jakarta : Bulan Bintang, 1987 M ), h. 20
[51]Dr. Nuruddin ITR, Ulum al-Hadits,  h.14
[52] Drs. Fatcur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l Hadits, h.55
[53]Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, h. 127
[54]Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok – Pokok Ilmu Dira>jah Hadiets, ( Cet; III , Jakarta: Bulan Bintang, 1967 ), h. 17  
[55] Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok – Pokok Ilmu Dira>jah Hadiets, h.17
[56] Drs. M. Jayadi M.Ag, Metodologi Kajian Hadist, h.6
[57] Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 151
[58] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah,  h. 52-58., Lihat Juga, H. Mahmud Azis dan Mahmud Yunus,Ilmu Musthalahul Hadis, ( Cet; IX, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984 M/1404 H), h.11
[59]Drs. M. Jayadi M.Ag, Metodologi Kajian Hadist, h. 5-6
[60]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis, h.65
[61]Drs. Fatcur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l Hadits, h. 21-23
[62]Dr. Abd.Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2008 )h. 68