BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang
beriman, diwajibkan untuk selalu berada di jalan yang benar dengan tetap
berpedoman pada al-Qur’an dan hadis. Sebagaimana dalam sabda nabi
Muhammad SAW:
وحدثني عن مالك انه بلغه ان رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال :تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة
نبيه[1]
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Telah aku tinggalkan untuk kalian,
dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan
keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Hadis dalam kedudukannya sebagai sumber
kedua setelah al-Qur’an memilki 3 fungsi pokok, yaitu : pertama sebagai penegas
dan penguat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, kedua sebagai pengurai dan
perinci hukum-hukum di dalam al-Qur’an yang global, ketiga menetapkan dan
menggali hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an.[2]
Hadits sebagai sumber
ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an telah disepakati oleh hampir seluruh umat Islam sebagai salah satu undang-undang wajib ditaati. Namun
demikian telah diakui pula bahwa hadis itu sendiri di dalamnya masih banyak hal
yang bersifat kontroversi, dimana salah satu hal penyebabnya adalah terjadinya
periwayatan hadis secara maknawi. Sehingga sering
menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam terhadap pemahaman suatu matan
atau sanad yang ada dalamnya.
Salah satu kegiatan yang di lakukan
oleh para ulama hadis dalam rangka mengembangkan, mempelajari dan memudahkan
pemahaman terhadap makna dan isi kitab-kitab hadis yang ada adalah dengan
cara menyusun kitab-kitab syarah, yaitu suatu kitab hadis yang di dalamnya
memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu dan
hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari al-Qur’an, hadits maupun
dari kaidah-kaidah syara’ lainnya. Kegiatan ini
sesungguhnya merupakan salah satu wujud perhatian ulama hadis dalam usahanya
melestarikan hadis sebagai sumber hukum Islam.
Studi hadits memiliki posisi yang
strategis dalam studi Islam, mengingat hadits merupakan poros seluruh ajaran
Islam yang harus di rujuk sebagai pendamping al-Qur’an . dapat di ibaratkan bahwa jika al-Qur’an
poros, maka hadis menempati posisi as, sementara karya ulama menempati jeruji
yang akan di jalankan oleh umat sebagai pelek dan roda dalam roda kehidupan
beragama.[3]
Untuk memahami dengan baik dan
benar hadis yang menjadi perinci al-Quran di perlukan suatu alat yang dapat
mengantarkan seseorang untuk memudahkannya yakni salah satunya yaitu Qawaid
al-Tahdis} merupakan ilmu yang mengkaji bagian yang terpenting dari
‘u>lum al-hadi>s, ushul> Hadis, dan atau mushtalah al-Hadi>s, yaitu
kaidah yang digunakan untuk mengkaji tingkat keshahihan hadis dan
kehujjahannya.[4]
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan maslah yang di jadikan
sebagai titk fokus dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah yang dimaksud
adalah:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Ilmu Hadis?
2.
Bagaiman sejarah perkembangan Ilmu Hadis?
3.
Bagaimana
ruang lingkup pembahasan Ilmu Hadis
tersebut?
4.
Apa kegunaan mempelajari Ilmu Hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ilmu Hadits
Kata Ilmu Hadits berasal dari bahasa
arab yaitu terdiri dari kata
علم
الحديث , yang terdiri dari dua suku kata yaitu ‘ilm dan
hadi>ts. Secara etimologi, ‘ilm
berarti pengetahuan[5], ilmu
pengetahuan, jamaknya, ‘ulum, yang berarti al-yaqi>n ( keyakinan) dan
al-Ma’rifah (pengetahuan). Menurut para
ahli kalam (Mutakallimun>), ilmu berarti keadaan tersikapnyasesuatu
yang diketahui (objek pengetahuan). Tradis dikalangan sebagian ulama, ilmu di
artikan sebagai sesuatuyang menancap dalam-dalam pada diri seseorangyang
dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.[6]
Adapun kata hadi>ts, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, berasal dari
bahasa arab al-hadi>ts berarti baru, yaitu الحديد
من الشياء (sesuatu
yang baru), bentuk jamak hadi>ts dengan makna ini hida>ts, huda>tsa
dan huduts, dan antonimnya qadi>m (sesuatu yang lama).[7]Jadi,
Hadi>ts secara terminologinya adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW,[8]baik itu beupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun
sifat-sifatnya[9] yang berfungsi
sebagai penafsir atau penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an[10].
Dari
pengertian diatas, ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan
membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabiat dan tingkah lakunya atau
yang disandarkan kepada sahabat dan thabi>’in. Menurut al-Suyu>thi dalam
kitabnya yang dikutip oleh Dr.Idri, M.Ag,[11]
علم
يبحث فيه كيفية التصال الآحاديث با لرسول ص.م . من حيث معرفة احوال رواتها ضبطا وعدالة
ومن حيث كيقية السند اتصالا وانقطاعا
“Ilmu Hadis adalah Ilmu pengetahuan
yang membahas tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah
SAW, dari segi mengetahui hal ihwal para periwayatnya, menyangkut ke-dhabi>th-an
dan keadilannya, dan dari segi tersambung atau terputusnya sanad, dan
sebagainya”
Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana
dikutip Syuhudi Ismail dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits sebagai segala
pengetahuan yang berhubungan dengan hadits Nabi.[12]
Menurut para ahli pakar
secara terminologi pengetian Ilmu Hadis ada 3 yaitu;[13]
·
Ilmu Hadis
adalah Ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang di hubungkan dengan
Rasul, baik mengenai perkataan yang beliau ucapakan, perbuatan yang beliau
lakukan atau pengakuan yang beliau ikrarkan, atau tingkah laku yang beliau
lakukan sebelum menjadi rasul atau sesudahnya,
atau menukil/ meriwayatkan apa saja yang dihubungkan kepada sahabat atau
tabi’in.
·
Ilmu Hadis
adalah ilmu tentang sistem atau metode untuk meneliti keadaan sanad-sanad hadis
dari segi muttashil dan munqhathinya dan keadaan rawi-rawi hadis dari segi
dhabit dan adilnya.
·
Ilmu tentang
pembahasan terhadap makna-makna dan maksud-maksud yang di kandung oleh
lafaz-lafaz hadis berdasarkan kaidah-kaidah bahasa arab dan aturan syariah
serta kesesuaian dengan tingkah laku nabi SAW.
Ulama berbeda-beda dalam memberi nama Ilmu
Hadis ini. Ada yang memberi nama ‘Ulum al-Hadi>ts; ada yang memberi nama
‘Ilm Ushul al-Hadits; ada yang memberi nama ‘Ilm Musthalah al-Hadi>ts; ada yang member nama ‘Ilm
Musthalah al-Atsar, ada yang meberi nama Qawaid al-Tahdi>s; ada yang memberi nama Metodologi Kritik Hadis; dan ada juga yang memberi nama
Metodologi Kajian Hadis. Walaupun nama-nama itu berbeda-beda, akan tetapi yang
dimaksud adalah sama, yang berbeda hanya cakupan pembahasannya yang biasa tidak sama. Kesemuanya, ilmu ini membahas tentang
hadis Nabi Muhammad SAW.[14]
B. Sejarah Perkembangan Ilmu
Hadis
Pada hakikatnya, Ilmu Hadis
itu mulai muncul pada masa Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadisnya dan para
sahabat meriwayatkannya. Ilmu hadis secara bersamaan dengan pertumbuhan
periwayatan dan penukilan hadis. Ilmu ini mulai tampak pada saat Rasulullah wafat,
sahabat sebagai generasi pengemban amanah menyampaikan dan menyebarakan Islam, aktif serta giat melakukan periwayatn hadis. Hal
ini dilakukan untuk menyebarluaskannya ditengah masyarakat serta menghindari
adanya orang-orang yang menodai dan merusaknya. Para sahabat berusaha dengan
keras untuk menjaga, menukil, menghafal, dan menulis hadis. Dari sisi penulisan
hadis Nabi lebih dahulu ditulis daripada ilmu hadis itu sendiri. Karena hadis
itu merupakan materi yang dimaksud, dikumpulkan, dan dikaji, sedangkan ilmu
hadis merupakan kaidah-kaidah dan metode yang digunakan untuk menyeleksi
diterima atau ditolaknya suatu hadis serta untuk mengetahui kualitas hadis
tersebut. Pada masa sahabat dan ta>bi’i|n serta generasi berikutnya telah
terdapat kaidah-kaidah ilmiah tentang metode
penerimaan riwayat, meskipun sebagian besar kaidah yang digunakan masih
belum maksimal atau belum tersusun secara sistematis, baru kemudian para ulama
berikutnya yang meng-istinbâth-kan kaidah-kaidah dari metode mereka tentang
penerimaan hadis, pengetahuan periwayat yang riwayatnya dapat dipegangi atau
tidak, syarat dan metode periwayatan, kaidah-kaidah al-Jarh wa al-Ta’di>l
dan sebagainya.
Periodisasi sejarah pertumbuhan dan
perkembangan ilmu hadis di jelaskan oleh Nur al-Din ‘Itr dalam kitabnya Manhaj
al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits yang dikutip dalam Dr. Idri, M.Ag[15]sebagai
berikut:
1.
Masa pertumbuhan sejak masa sahabat sampai akhir abad I
H. Pada periode ini dikenal dengan istilah Hadis Maqbul dan Hadis Mardu|d. Ini
ditandai dengan usaha-usaha sahabat dalam menjaga hadis dengan langkah-langkah:
·
Membersihkan
jiwa dan menguatakan tekad
·
Memperkuat
agama
·
Memandang hadis
sebagai salah satu pilar Islam
·
Menyampaikan
amanat Nabi
Untuk
mengaplikasikan hal-hal tersebut, mereka melakukan : 1) tidak memperbanyak
periwayatan hadis; 2) berhati-hati dalam
menerima dan meriwayatkan hadis; 3) melakukan kritik terhadap hadis dan
diriwayatkan dengan alat ukur nash-nash dan kaidah-kaidah agama.
2.
Masa
penyempurnaan di mulai sejak awal abad II H sampai awal abad III H.
Penyempurnaan dilakukan berdasarkan beberapa alasan:
·
Semakin
melemahya kemampuan hafalan umat Islam
·
Semakin panjang
dan bercabangya sanad
·
Sudah tumbuh
beberapa fraksi atau sekte yang menyimpang.
Atas
adanya perintah tersebut para ulama pelestari dan penjaga keautentikan hadis
dan melakukan langkah-langkah ; 1) mengkodifikasikan hadis, 2) memperluasan
cakupan al-Jarh wa al-Ta’di>l, 3) menunda menerima hadis dari orang yang
tidak ataukurang di kenal, dan 4) meneliti dan membuat kaidah- kaidah yang
dapat digunakan untuk mengetahui kualitas suatu hadis.
Ulama yang pertama kali mempelopori
pengkodifikasian hadis adalah Muhammad bin sulaiman bin Syihab al-Zuhri
al-Madani (w. 124 H), ulama besar negeri Syam dan Hijaz atas perintah Khalifah
Umar bin Abdul Azis yang masih sempat menjabat pada waktu itu.[16]
3.
Masa
pembukuan ilmu hadis secara independen, dimulai sejak abad III sampai
pertengahan abad IV Hijriah. Pada masa ini masing-masing ilmu hadis menjadi
ilmu yang spesifik (khas) seperti tentang hadis murshal, hadis shahih,
dan lain-lain. Pada masa inibermuncullah kitab Ilmu hadis diantaranya:
Ø Tarikh
al-Ruwath disusun
oleh Yahya bin Ma’in.
Ø Al-Tarikh
al-Khabir disusun
oleh Al-Bukhariy
Ø Al-‘Ilal
wa Ma’rifa al-Rijal dan Al- Nasikh wal al-Mansukh disusun oleh
Ahmad bin Hanbal.
4.
Masa penyusunan
ilmu hadis secara komprehensif dan melimpahnya kegiatan pembukuan ilmu hadis.
Masa ini dimulai sejak pertengahan abad ke IV sampai abad VII Hijriah. Pada
masa ini para ulama giat melakukan penyusunan ilmu hadis sebagaimana pendahulu
mereka, kemudian mengumpulkan sesuatu yang berbeda ke dalam suatu bidang dan
menyisipkan apa saja yang belum diungkap atau dibahas. Bermuncullah kita-kitab
ilmu hadis, diantaranya sebagai berikut:
Ø Al-
Muhaddits al-Fashil Bayn al-Rawiy wa al-Wa’iy disusun oleh Al-Qadhiy
Abu Muhammad al-Ramaharmuzy al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibnu Khallad (w. 360 H
).
Ø Al-Kifayah
fiy ‘Ilm al-Riwayah disusun oleh Abu Bakr Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Aliy
al-Khatib al-Bagdadiy (w. 463 H ).
Ø Al-Ilma’fiy
al-‘Ulum al-Riwayah wa al-Sima’ disusun oleh Al-Qadhiy ‘Iyadh ibn Musa al- Yahshubiy (w.
544 H ).
Ø Ma’rifah
‘Ulum al-Hadits disusun oleh al-HakimAbu ‘Abdullah al-Naisaburiy
(w. 405 H).
5.
Masa kematangan
dan kesempurnaan dalam kodifikasi ilmu hadis, dimulai sejak abad VII sampai
abad X Hijriah. Pada masa ini meskipun ilmu hadis sudah relatif mapan, tetapi
banyak ulama yang melakukan ijtihad dalam menetapkan dan merumuskan
kaidah-kaidah ilmiah ilmu hadis, bahkan
dari ijtihad mereka tersebut ada yang berbeda dengan ketentuan ilmu hadis yang
sudah mapan tadi.
Pada
periode ini yang mepelopori perkembangan
kajian Ilmu hadis mencapai puncaknya ketika Abu ‘amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman
al-Syahrazuri (w 643 H) menulis karya ilmiah yang sangat monumental, ‘Ulum
al-hadits yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibnu al-Shalah. Ada
33 kitab yng membahas kitab Ibnu Shala>h tersebut berupa ikhtisar
(ringkasan) syarah (Ulasan), nazm (Puisi, syair) dan mu’aradhah sehingga dapat
dijadikan pegangan generasi-generasi berikutnya.[17] Banyak kitab penting yang
disusun sesudah ‘Ulum al-Hadi>ts ini, diantarnya:
Ø Al-Irsyad
disusun
oleh Yahya ibn Syaraf al-Nawawiy ( w.676 H).
Ø Fath
al-Mughits :
Syarh Alfiyah al-‘Iraqiy fiy ‘Ilm al-Hadits disusun oleh al-Hafizh Syams al-Din
Muhammad al-Sakhawiy ( w. 902 H ).
Ø Tadrib
al-Rawiy
: Syarh Taqrib al-Nawawiy disusun oleh Al-Hafizh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman
al-Suyuthiy (w. 911 H ).
Ø Nukhbat
al-Fikr
disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalaniy.
6.
Masa statis
yang dimulai sejak abad X sampai XIV Hijriah. Pada masa ini kreatifitas dan
aktifitas jihad terhenti, baik dalam penyusunan apalagi dalam masalah dalam
masalah-masalah ilmiah ilmu hadis. Kegiatan yang ada terbatas pada peringkasan
dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiah. Ini diakibatkan oleh derasnya
arus pengaruh kolonialisme dan materialisme dari dunia Barat (Eropa).
Eksistensi hadis mulai dikaburkan oleh orientalis dan diterima begitu saja oleh
orang-orang yang mudah terbawa arus dan ikut serta mengumandangkannnya. Kondisi
ini menuntut disusunnya kitab yang menyanggah kesalahan-kesalahan dan
kedustaan-kedustaan mereka. Bangkitlah para ulama menyusun kitab susunannya
mengalami pembaharuan.[18]Diantara kitab yang sempat
disusun pada masa ini yaitu:
Ø Qawaid
al-Tahdi>s disusun oleh Syaikh Jamal al-Din al-Qasimiy.
Ø Miftah
al-Sunnah Aw Tarikh Funun al-Hadits disusun oleh ‘Abdul al-‘Azis
al-Khuliy.
Ø Al-
Hadi>ts wa al-Muhadditsun di susun oleh Dr. Muhammad Abu Shaw.
Ø Manhaj
al-Hadis fiy ‘Ulum al-Hadi>ts disusun oleh Dr. Syaikh Muhammad
Muhammad al-Simahiy.
Dalam
sejarah perkembangan Ilmu Hadis, ilmu ini mempunyai beberapa cabang ilmu. Menurut
al-Hakim al-Naisabury (321-405 H) sebagaiman dikutip ‘Ajjaj al-Khatib, cabang
ilmu hadis ada 52 macam. Ibnu al-Shalah menyebutkan cabang ilmu hadis ada 65
cabang. Al-Suyuthi berkata ilmu hadis tidak terhitung jumlahnya. Menurut
Muhammad ibn Nasr al-Hasiymi, menyatakan bahwa ilmu hadis mencapai lebih dari
100 macam.[19]Dibeberapa
kitab ada yang membagi kedalam 3 obyek pembahasan, yaitu lebih khusus
berpangkal pada sanad, matan dan keduanya. Dengan rincian sebagai berikut:[20]
·
Cabang-cabang
yang berpangkal pada sanad, antara lain:
-
‘Ilmu
Rija>lil al-Hadi>ts
-
‘Ilmu Thabaqhat
ar-Ruwah
-
‘Ilmu
Tari>kh Rija>lil al-Hadi>ts
-
‘Ilmu Jarh wa
Ta’dil
·
Cabang-cabang
yang berpangkal pada matan antara lain:
-
‘lmu
Ghari>bi al-Hadi>ts
-
‘Ilmu Asbabi
al-Wurud al-Hadi>ts
-
‘Ilmu Tawarikh
al-Mutun
-
‘Ilmu Nasikh wa
al-Mansukh
-
‘Ilmu Talfiq
al-Hadits
·
Cabang-cabang
yang berpangkal pada sanad dan matan
-
‘Ilmu ‘Illal
al-Hadi>ts.
Namun,
pada pemakalah hanya membahas beberapa ilmu tersebut, diantaranya sebagai
berikut:
1.
‘Ilmu Rijal
al-Hadits.
Kata
Rijal adalah bentuk jamak. Mufradnya adalah rijal. Ia berarti “
laki”[21]. Jadi, ‘Ilmu Rijal
al-Hadits secara etimologi berarti
ilmu tentang laki-laki (tokoh- tokoh atau ulama) hadis. Namun, secara
terminologi diartikan sebagai :
“Ilmu
yang membahas tentang periwayat-periwayat hadis dari sahabat, tabi’in, dan
lain-lain.”[22]
Dengan
ilmu ini dapat diketahui keadaan periwayat hadis, baik periwayat yang menerima
lansung hadis dari Nabi Muhammad, yaitu sahabat, maupun peeriwayat yang
menerima hadis dari sahabat dan lain-lainnya.
Dalam
ilmu ini biasanya dijelaskan biografi singkat dari periwayat, aliran yang akan
diikutinya, dan bagaimana keadaan mereka dalam menyampaikan dan menerima hadis.
Ilmu ini sangat penting kedudukannya, karena objek kajiannya adalah sanad dan
matan. Ilmu ini secara khusus membahas dan mengkaji persoalan periwayatan
hadis.
Kitab-kitab
yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan
riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat, ada yang menerangkan riwayat umum
para perawi-perawi, ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja,
ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para
mudallis, atau para pembuat hadits maudlu’, ada yang menerangkan sebab-sebab
dicatat, dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai
untuk itu martabat-martabat perkataan, ada yang menerangkan nama-nama yang
serupa tulisan, berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadits disebut Marfu’
dan Mukhtalif, ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya. Umpamanya,
Khalil ibn Ahmad, nama ini banyak orangnya, ini dinamakan Muttafiq dan Muftariq.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi
berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa, misalnya Muhammadibn
Aqil dan Muhammad ibn ‘Uqail , ini dinamakan Musytabah. Ada
juga hanya menyebut tanggal wafatnya, dan ada pula yang hanya menerangkan
nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau beberapa kitab saja.[23]
Tokoh
yang dinilai sebagai orang yang pertama menyusun ilmu ini adalah, al-Bukhariy
(w. 256 H ), dengan kitabnya al- Ta>rikh al-Khabir disusul oleh
Muhammad ibn Sa’ad (w. 230 H), dengan kitabnya berjudul al-Thabaqat,
kemudian sesudahnya bankit beberapa ulam hadis menyusun kitab.[24]
2.
‘Ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil
Pada
hakikatnya ilmu ini merupakan bagian dari Ilmu Rijalil al-Hadits, akan
tetapi karena bahagian ini dipandang suatu bahagian penting, maka dipandanglah
sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Secara etimologi, al- Jarh berarti
“melukai”[25] dan
ta’dil berarti ‘’meluruskan.’’
Namun, secara terminologi, diartikan sebagai “Ilmu yang membahas tentang
cacat periwayat-periwayat dan keadilannya dengan menggunakan kata-kata khusus
dan martabat kata-kata tersebut.”
Ilmu al-Jarh
wa at-Ta’dil ini muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan hadis,
karena itu untuk mengetahui hadis shahih harus didahului dengan mengetahui
periwayatnya, pengetahui pendapat kritikus periwayat tentang jujur atau
tidaknya periwayat sehingga memungkinkan dapat membedakan hadis yang dapat
diterima atau ditolak. Karena itu, para ulama hadis mengkaji tentang para
periwayat hadis, mengikuti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui seluruh hal
ihwal mereka, menelaah dengan cermat sehingga diketahui para periwayat yang
sangat kuat hafalannya, yang dhabith, yang lebih lama berguru pada seseorang,
dan sebagainya.
Ada beberapa
syarat Ulama dalam melakukan al-Jarh dan al-Ta’di>l diantaranya:[26]
a.
Berilmu,
bertaqwa, wara’, dan jujur.
b.
Ia mengetahui
sebab-sebab al-Jarh dan al-Ta’di>l
c.
Ia mengetahui
penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehinnga suatu lafazh yang digunakan
tidak dipakai untuk selain maknanya atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.
Dalam
melakukan jarh dan ta’dil, para ulama hadis menempuh beberapa
metode sebagai berikut:[27]
a.
Bersikap amanah
dan menjelaskan para periwayat apa adanya
b.
Bersifat
mendetail dalam mengkaji dan menghukumi keberadaan periwayat.
c.
Menerapkan
etika dalam melakukan penilaian negatif (men-Tarjif).
d.
Dalam men-Ta’dil
dilakukan dan dalam men-tarjihkan dilakukan secara terperinci.
Pertentangan
yang sering terjadi dikalangan ulama hadis mengenai jarh dan ta’di>l.
Pendapat yang shahih yang dikutip al-Kahtib al-Bagdhadi dari jumhur
ulama dan di shahihkan oleh Ibnu al-Shalah dan sebagian muhaddits yang lain
serta sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa jarh
didahulukan atas ta’dil meskipun yang men-ta’dil itu
lebih banyak. Ini karena orang yang men-ta’dil hanya memberitakan karakteristik
yang tampak baginya, sedangkan orang yang men-jarh memberikan karakteristik
yang tidak tampak dan samar bagi orang yang men-ta’dil. Namun kaidah ini tidak
menunjukkan kemutlakan harus didahulukannya jarh. Terkadang kita
dapatkan mereka mendahulukan ta’dil atas jarh. Dapatlah kita katakan
bahwa kaidah ini terbata dengan syarat-syarat sebagai berikut: [28]
a.
Jarh harus
dijelaskan dan harus memenuhi semua syarat-syaratnya.
b. Orang
yang men-Jarh tidak sentimen terhadap orang yang di jarh atau
mempersulit dalam men-jarh.
c. Pen-ta’dil
tidak menjelaskan bahwa jarh yang
ada tidak dapat diterima bagi rawi yang bersangkutan.
Oleh
sebab itu kita harus memahami batas-batas kaidah didahulukannya jarh
atas ta’dil. Telah banyak pembahas yang tergelincir karena lalai akan batasan dan perincian ini karena
mereka menduga bawa mutlak jarh didahulukan atas ta’dil oleh siapa pun dan terhadap rawi mana pun,
sehingga mereka terperosot sendiri dalam kesalahan.
Ilmu
ini muncul sesudah akhir masa tabi’in, kira-kira pada tahun 150 H. Diantara
ulama besar yang memberikan perhatian yang lebih pada ilmu ini yaitu Yahya
ibn Sa’id al-Qaththan ( w. 189 H), dan Abdur Rahman ibn Mahdy ( w. 198 H ), sesudah itu disusul lagi oleh
ulama-ulama yang lainnya.[29]
3.
‘Ilmu ‘Illal
al-Hadits
Kata ‘ilal
adalah bentuk jamak dari kata ‘illah,yang berarti ”sakit, sebab,
alasan, dan uzur”.[30]
Namun secara terminologi yaitu “ sebab tersembunyi yang merusak hadis yang
nampak tidak ada kerusakan”.[31]
Dari
pengertian secara terminologi tersebut maka, dapat diketahui bahwa ilmu ini
membahas tentang, kerusakan (cacat) yang
samar dan tersembunyi dari hadis. Jadi, suatu hadis mungkin saja kelihatan tidak memiliki cacat, setelah
diteliti secara mendalam baru tampak cacatnya yang menjadi sebab tidak shahih.[32]
Cara
mengetahui ‘illat suatu hadis adalah dengan menghimpun semua sanad yang
berkaitan dengan hadis yang diteliti untuk mengetahui apakah hadis yang
bersangkutan memilki tawabi’, atau syawa>hid, atau tidak.
Kemudian, dengan seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad yang
diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat dan ‘illat hadis.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui hadis yang memilki ‘illat atau
tidak.[33]
Para
ulama hadis sanagt memperhatikan ilmu ‘illal al-Ha>dits, mereka
berusaha menyeleksi sanad hadis, mengadakan pertemuan ulama dan berdialog serta
mendengarkan pendapat mereka. Semua cara ini dimaksudkan untuk membedakan
antara hadis yang shahih, hadis yang da’if, yang tidak mengandung ‘illat , syadz (
kejanggalan), dan yang tidak.
Mereka
menulis kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini, semenjak akhir abad kedua
dan awal abad ketiga Hijriah dan seterusnya. Diantaranya , kitab
al-Tari>kh wa al-‘Ilal karya Yahya ibn Mu’in, kitab ‘Illal
al-Hadi>ts karya Ahmad bin Hanba>l, dan seterusnya.[34]
4.
‘Ilm
Mukhtalif al-Hadits
Kata
mukhtalif secara etimologi berarti “berselisih, tidak sepaham,
meletakkan dibelakang, mengambil dari belakang”.[35]
Menurut
al-Zarkasy Mukhtalaf adalah :
تقا بل الد ليلين علي
سبيل المما نعة
”Perbandingan
dua dalil dengan cara saling menghalangi bertolak belakang”
Namun,
secara terminologi yaitu “ Ilmu yang membahas tentang hadis yang tampak
bertentangan, maka hilanglah pertentangannya atau dikompromikan antara
keduanya, sebagaimana juga membahas tentang hadis yang mengalami problema
pemahaman atau gambaran, maka dihilangkan problemanya atau dijelaskan
hakikatnya”. [36]
Dengan
Ilmu ini, hadis yang tampak bertentangan satu dengan yang lainnya dapat
dibatasi pertentangannya, baik dengan cara di kompromikannya, men-tarjih,
men-taqyidkan yang muthlaq, maupun dengan cara lain. Oleh karena itu
ulama memberikan nama lain, contohnya seperti Musykil al-Hadits, Ta’wil
al-Hadits, atau Talfiq al-Hadits.[37]
5.
‘Ilm Asbab
Wurud al-Hadits
Kata
asbab adalah bentuk jamak dari kata sabab. Ia berarti “ sebab,
alasan, washilah, perantaraan”.[38]
Kata wurud berarti “
datang, sampai.”[39]
Secara terminologi ilmu ini diartikan sebagai “Ilmu yang menerangkan sebab
muncul/ datangnya hadis dan munasabanhya.”[40]
Ilmu
ini mempunyai kaidah-kaidah yang menerangkan tentang latar belakang dan
sebab-sebab adanya hadis. Mengetahui peristiwa yang menjadi latar belakang
disampaikannya suatu hadis, sangat penting untuk untuk membantu mendapatkan
pemahaman hadis secara sempurna. Pemahaman hadis dilihat dari segi saba>b
wuru>d, dikalangan ulama ada yang mendahulukan sebab atau latar belakang
tetapi ada pula yang mendahulukan keumuman redaksi (lafal) hadis.[41] Ilmu ini mempunyai
keterkaitan yang begitu erat dengan ilmu al-Na>sik>h wa
al-Mansu>kh, karena mengetahui asba>bul wurud hadis sehinnga
dapat diketahui hadis yang menasakh dan yang dinasakh, hadis yang terdahulu dan
yang kemudian.
Diantara kitab tentang “ilm Asbab Wurud
al-Hadits yaitu Kitab al-Bayan wa Ta’rif Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif
disusun oleh Ibn Hamzah al-Husayniy al-Dimasyqiy (w. 1120 H ).
6.
‘Ilm al-Nasikh
wa al-Mansukh
Secara
etimologi, kata al-Nasikh dan mansukh bersal dari kata nasakh berarti “menghilangkan, menghapus,
membatalakan, menukilkan, dan menyalin.”[42]
Kata al-naskah memiliki
beberapa makna diantaranya al-Iza>lah (menghilangkan), al-Tabdi>l
( mengganti ), al-Tahwi>l (mengalihkan), dan al-Naql (memindahkan).[43]Menurut Abu Hafs nasakh
mempunyai dua defenisi yaitu: 1) nasakh berarti penjelasan tentang berakhirnya
hukum syara’ melalui jalan hukum syara’ karena adanya rentang waktu. Maka dalam
hal ini hukum pertama menjadi mansukh karena batas waktunya telah tiba
dan persamaan dengan itu datang hukum lain sebagai pengganti. 2) nasakh adalah
penghapusan suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ karena adanya rentang waktu.[44]Dengan demikian, nasikh
adalah dalil atau hukum syara’ yang datang kemudian sebagai pengganti hukum
yang telah ada sebelumnya. Adapun mansu>kh secara bahasa berarti
sesuatu yang dihapus, dihilangkan, dipindah atau disalin. Menurut para ulama
menyatakan bahwa Mansu>kh adalah hukum syara’ yang berasal dari dalil
syara’ yang pertama yang diubah atau yang dibatalkan oleh hukum dari dalil
syara’ yang baru.[45]
Namun,
secara terminologi “ Ilmu yang membahas hadis-hadis yang (nampak)
bertentangan yang tidak dapt di kompromikan, lalu sebagaimana dipandang nasikh
dan sebagainya (yang lain) dipandang
mansukh.”
Didalam
al-qur’an juga dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 106:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ
مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Terjemahannya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu[46]
Ilmu
ini sangat bermanfaat dengan ilmu ini kita dapat mengetahui hadis yang
terdahulu muncul sebelum muncul hadis yang lain. Ilmu ini sangat dibutuhkan
dalam mmenyempurnakan ijtihad. Sehingga para sahabat, tabi’in dan ulama yang
lain memberikan perhatian padanya dengan perhatian yang besar, mengetahui nasi>kh
dan mansu>kh merupakan keharusan juga bagi seseorang yang ingin
menkaji hukum-hkum syari’ah, karena tidak mungkin men-istinbath-kan dan
meyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan dalil-dalil mansu>kh.
Oleh karena itu ulama menganggap bahwa ilmu ini amatlah penting dalam ilmu
hadis.
Diantara
kitab yang disusun mengenai Ilmu ini adalah; al-Nasikh wa Al-Mansukh disusun
oleh Qatadah ibn Diamahal-Sadusiy ( w.118); Nasikh al-Hadits wa Mansukhuku disusun oleh al-Hafizh Abu Hafash ‘Umar
ibn Ahmad al-Bagdhady ibn Syahim ( w. 385 H ); Al-I’tibar bi al-Nasikh wa
al-Mansukh nin al-Atsar disusun oleh
Al-Hafizh al-Hazimiy al-Hamzaniy (w. 584 H ).
C.
Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadis
Secara garis besar, menurut kajian
ulama Mutaakhiru>n Imu Hadis terbagi menjadi dua, yaitu Ilmu Hadis Riwa>yah dan Ilmu
Hadis Dira>yah.
1.
Ilmu
Hadis Riwa>yah
a.
Pengertian
Ilmu Hadis Riwa>yah
Secara etimologi kata riwa>yah berarti
“meriwayatkan; kabar; berita; menceritakan”[47]Jadi dengan demikian,
Ilmhu Hadis Riwa>yah adalah pengetahuan tentang periwayatan dan pemberitaan
tentang hadis Nabi Muhammad SAW. Namun secara terminologi banyak defenisi yang
diungkapkan oleh ahli hadis, diantaranya :
Ø Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefenisikan Ilmu Hadis
Riwa>yah adalah “Ilmu penengatahuan yang mengkaji tentang segala yang disandarkan
pada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau
psikis dengan penkajian yang detail dan terperinci.”[48]
Ø Muhammad Abu> Syihab dalam kitabnya mendefinisikan
Ilmu Hadis Riwa>yah adalah “ Ilmu pengetahuan yang mencakup (pembahasan)
tentang sesuatu yang di nukil dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan/ ketetapan, ataupun sifat fisik dan psikis.”[49]
Ø Ibnu Akfani berkata :
علم
الحدث الخا ص با لرواية : علم يشتمل على عقوال النبي ص م و أفعاله,و روايتها
وضبطها وتحرير الفاظها[50]
“ Ilmu hadits khusus riwayat ialah: Ilmu yang
melengkapi penukilan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatannya, periwayat-periwayat
hadits, pengdha-bitannya dan penguraian lafadh – lafadhnya.’’
Namun defenisi ini dikritik, karena tidak komprehensip
dan tidak memasukkan taqrir dan sifat-sifat ( hal ihwal ) Nabi Muhammad SAW;
sebagaimana defenisi ini juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa
hadits ini cukup segala apa yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi’in.
Oleh karena itu, pengertian secara lengkap dari Ilmu
Hadis Riwayah adalah: “ Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan
sifat –sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan pencatatannya serta penelitian lafal
– lafalnya.”[51]
Perintis
pertama Ilmu hadis Riwa>yah ini adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry (124 H).[52]
b. Objek Kajian Ilmu Hadis Riwa>yah
Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh ahli diatas
maka dapat kami simpulkan bahwa objek kajiannya adalah berkisar tentang:
Ø Mengkaji
tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik itu berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan dan sifat fisik atau psikis.
Ø Pengkajian dilakukan secara detail dan terperinci,
Ø Pengkajian dan pengutipan dilakukan secara bebas dan
cermat,
Ø Mengkaji pula segala yang disandarkan pada sahabat,
dan tabi’in.
2.
Ilmu
Hadis Dirayah
a.
Pengertian Ilmu
Hadis Dirayah
Secara
etimologi, kata Dirayah berarti, “pengertian, pengetahuan dan pemahaman.”[53]Namun secara terminologi,
ada beberapa redaksi defenisi yang dikemukakan oleh ulama hadis, diantara defenisinya
yaitu :
Ø Pengarang
Irsyadul Qashid yang dikutip dalam buku Pokok-pokok Ilmu Dirajah Hadiets, “Ilmu
Hadis Dirayah adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui macam – macam
riwayat, hukum –hukmnya, syarat–syarat perawi, sifat –sifat hadis yang
diriwayatkan, dan cara – cara menanggapi ma’nanya.[54]
Ø Menurut
as – Suyuthi Ilmu Hadis Dirayah adalah “ ilmu yang mempunyai beberapa
kaidah, yang dengannya dapat diketahui keadaan matan dan sanad, maka objek dan maksud itu adalah mengetahui
yang diterima atau yang ditolak.”[55]
Ø ‘Izz
al – Din ibn Jama’ah yang di kutip dalam buku Metodologi Kajian Hadis, meringkas
defenisi Ilmu Hadis Dirayah adalah “ Ilmu tentang kaidah – kaidah yang
dengannya diketahui keadaan sanad dan matan.”[56]
Ø Ibn
al- Akfany menjelaskan bahwa Ilmu Hadis khusus Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui
hakikat periwayatn, syarat–syarat, macam–macam, dan hukum–hukumnya, serta
keadaan para periwayat dan syarat–syarat mereka, jenis–jenis yang diriwayatkan
dan segala yang terkait dengannya.[57]
As–Suyuthi menjelaskan maksud dari
definisi diatas. Hakikat periwayatan artinya kegiatan periwayatan hadis dan
penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan menggunakan sighat
al-Ada’, seperti haddatsana, akhbarana, dan sami’tu. Syarat–syarat
periwayatan adalah cara penyampaian dan penerimaan hadis, dalam kitab ilmu
hadis periwayatan hadis ada 8:[58]
Ø Al-Sama’ atau al-sama’ al-Syaikh yaitu
penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis
(syaikh). Cara periwayatan ini mayoritas ulama hadis di nilai sebagai cara yang
tertinggi kualitasnya.
Ø Al-qira’ah atau al-qira’ah ala syaikh
yaitu yakni periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara
periwayat hadis itu sendiri yang membaca atau orang lain yang membacanya dan
dia mendengarkan.
Ø Al-Ijazah yaitu guru hadis memberikan
izin kepada seorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik secara
lisan ataupun secara tulisan. Mayoritas ulama menilai bahwa untuk jenis ijazah tertentu
cukup terpercaya untuk periwayatan hadis.
Ø Al- Munawalah terbagi atas 2 yaitu al-munawalah bersamaan
dengan al-ijazah, dan al- munawalah yang tidak bersamaan dengan ijazah, yakni
pemberian kitab hadis oleh guru hadis kepada muridnya sambil berucap “ini
hadis yang telah saya dengar”, atau “ini hadis yang telah saya
riwayatkan.” Guru hadis tadi tidak menyatakan agar ‘’hadisnya’’ itu
diriwayatkan ulama pada umumnya tidak membenarkan periwayatan dengan
al-munawalah tanpa di ikuti ijazah.
Ø Al-Mukhatabah yaitu guru hadis menuliskan
hadis yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik tulisan
guru sendiri atau pun tulisan orang lain atas permintaan guru tersebut,
dihadapan orang yang diberi hadis ataupun berada ditempat lain. Umumnya ulama
membolehkan cara tersebut sebagai cara periwayatan hadis.
Ø Al-I’lam yaitu guru hadis
memberitahukan kepada muridnya, hadis atau kitab hadis yng telah diterimanya
dari periwayatannya misalnya melalui asma’ , tanpa di ikuti pernyataan agar
muridnya tadi meriwayatkannya lebih lanjut.
Ø Al- wasyiah yaitu seorang periwayat
hadis meriwayatkn hadis mewasiatkan kitab hadis yang diriwayatkannya kepada
orang lain dalam waktu yang ditentukan. Sebagian ulama membolehkannya.
Ø Al-Wijadah yaitu seseorang dengan tidak
melalui cara al- asma’, mendapati hadis yang ditulis periwayatannya, baik dia
semasa ataupun tidak semasa dengan orang yang menulis hadis tersebut pernah
bertemu ataupun tidak, dan pernah meriwayatkan atau pun tidak meriwayatkan
hadis dari penulis yang di maksud.
Macam –macam periwayatan adalah
bersambung atau putus periwayatan. Hukum-hukum periwayatan adalah diterima
karena memenuhi syarat-syarat tertentu atau ditolak karena adanya persyaratan
yang tidak terpenuhi. Keadaan para periwayat yaitu keadilan, ke-dhabith-an,
tidak adil dan tidak dhabith. Syarat-syarat mereka adalah syarat-syarat yang
harus dipenuhi ketika periwayat menerima dan menyampaikan hadis. Jenis- jenis
yang diriwayatkan adalah penulisan hadis di dalam kitab al-Musnad,
al-Shahih, dan al-Sunan.[59]Sebagai
perintis pertama ilmu ini adalah al-Qadli Abu Muhammad ar-Ramahurmuzy ( w. 360 H )
b.
Objek Kajian
Ilmu Hadis Dirayah
Berdasarkan
beberapa defenisi mengenai Ilmu Hadis Dirayah tersebut, dapat
disimpulkan bahwa objek kajiannya adalah sanad dan matan hadis.
Setelah kita mengamati berbagai
penjelasan tentang Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dira>yah,
maka dapat kita simpulkan bahwa diantara keduanya memilki kesamaan,yaitu
keduanya mengfokuskan pembahasannya pada Hadis Nabi baik susunan sanad maupun
matannya. Ada pun perbedaannya yaitu:
·
Ilmu Hadis Riwa>yah
;
-
Pembahasannya
di titik berat kan pada cara-cara penerimaan dan penyampaian hadis atau
penukilan dan pembukuannya.
-
Hadis yang
diteliti apa adanya sesuai dengan teks sanad dan matannya.
-
Penelitian
terhadap hadis bertujuan untuk menjaga hadis Nabi dari kesalahan penukilan (
menjaga orisinalitas hadis ).
-
Hasil
penelitiannya tidak menampakkan adanya kritik terhadap hadis baik terhadap
sanad maupun matannya sehingga tidak memberikan kejelasan tentang status hadis apakah
shahih, hasan, atau dha’if.
·
Ilmu Hadis Dira>yah
;
-
Pembahasannya
lebih mengfokuskan pada hakikat, syarat-syarat, macam-macam, hukum-hukum
periwayatan dan keadaan serta syarat-syarat periwayat.
-
Penelitian
terhadap hadis dilakukan pada keadaan sanad dan matanhadis bahwa keadaan sanad
dan matan harus dapat diuji kebenarannya secara ilmiah.
-
Penelitian
hadis bertujuan untuk mengetahui apakah hadis akan diterima atau ditolak.
-
Hasil
penelitiannya menampakkan adanya kritik terhadap kualitas sanad dan matan hadis
sehingga menampakkan adanya kritik terhadap kualitas sanad dan matan hadis
sehingga dapat memberikan kejelasan tentang status hadis apakah shahih,
hasan atau dha’if. [60]
Dengan demikian, Ilmu Hadis Riwa>yah
merupakan penerapan praktis dari Ilmu Hadis Dira>yah.
3.
Gelar Keahlian
bagi Imam-Imam Rawi Hadits
Para
imam Hadits mendapat gelar keahlian dalam bidang ilmu Hadits sesuai denagn
keahlian, kemahiran, dan kemampuan menghafal beribu-ribu buah hadits beserta
ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu diantaranya:[61]
a.
Amirul’l-Mu’minin
fi’l-Hadits
Gelar
ini sebenarnya diberikan kepada para
khalifah setelah Khalifah Abu Bakar
ash-Siddiq r.a. Para khalifah diberikan gelaran demikian mengingat jawaban Nabi
atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahwa
khalifah ialah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan Haditsnya.
Para muhadditsin di masa itu seolah-olah berfungsi sebagai seorang khalifah
dalam menyampaikan sunnah. Mereka yang pada memperoleh gelar tersebut adalah: Syu’bah
ibn al-Hajjaj; Sufyan ats-Sauri; Ishaq bin Rahawih; Ahmad bin Hanbal;
al-Bukhari; ad-Dha>ruquthuny dan Imam Muslim.
b.
Al-Hakim
Merupakan
suatu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh hadits yang
marwihnya (diriwayatkan), baik matan, maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil
(terpuji), dan tarjih (tercela)nya rawi-rawi. Setiap rawi diketahui sejarah
hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima
maupun ditolak.beliau harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits
beserta sanadnya. Para Muhadditsin yang mendapat gelaran ini diantarnya: Ibnu
Dinar (w. 162 H); al-Laits bin Sa’ad; Imam Malik dan Imam Syafi’i.
c.
Al-Hujjah
Merupakan
gelar yang diberikan kepada imam yang keahliannya snaggup menghafal 300.000
hadits, baik matan, sanad, maupun perihal sirawi tentang ke’adilannya, keadilan
dan biografinya (riwayat hidupnya). Para Muhadditsin yang mendapat gelar ini
diantaranya: Hisyam bin ‘Urwah (w. 146 H); Abu Hudzail bin Walid (w.
149 H); dan Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amr (w. 242 H).
d.
Al-Hafidh
Merupakan
gelaran bagi para ahli Hadits yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadits
dan dapat di ta’dilkan dan men-jarh-kan rawinya. Beliau harus menghafal
hadits-hadits shahih, mengetahui rawinya yang waham (banyak buruk sangka),
‘illat-illat Hadits dan istilah-istilah para Muhadditsin. Menurut sebagian
pendapat, Al-Hafidh itu harus mempunyai kapasitas 100.000 hadits. Para
Muhadditsin yang mendapat gelaran ini antara lain ialah: Al-‘Iraqy,
Syarafuddin Ad- Dimyathy; Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniu dan Ibnu Daqiqi’l-‘id.
e.
Al-Muhaddits
Menurut
Muhadditsin mutaqaddimin Al-Hafidh dan al-Muhaddits itu searti. Tetapi menurut
Mutaakhkhirin, al-Hafidh itu lebih khusus daripada daripada Muhadditsin. Kata
At- Taju’s-Subhi: “al-Muhaddits adalah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad,
‘illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ‘ali (tinggi), dan nazil (rendah)nya
suatu hadits, memahami Kutub’s-sittah, Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, Mu’jam
ath-Tabraniy, dan menghafal hadits sekurang-kurangnya 1000 buah. Muhadditsin
yang mendapat gelaran ini adalah: ‘Atha’ bin Abi Rabiah (115 H) dan Imam
az-Zabidiy.
f.
Al- Musnid
Merupakan
gelaran yang diberikan kepada yang memiliki keahlian bagi orang yang
meriwayatkan hadis beserta sanadnya. Baik menguasai Ilmunya maupun tidak . Al-
Musnid juga disebut dengan at-Thalib, al-Mubthadi’ dan ar-Rawy.
D. Manfaat
dari Mempelajari Ilmu Hadits
Adapun kegunaan
mempelajari ilmu hadits antara lain :[62]
1.
Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah
secara benar.
2.
Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan
penyimpangan
3.
Menjaga kemurnian syariat Islam
dari berbagai penyimpangan
4.
Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.
5.
Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan
melestarikan hadits Nabi.
6.
Dapat
mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama hadits.
7.
Mengetahui
kriteria yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan kaadaan hadist,
baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan
matannya.
8.
Dapat
mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak).
9.
Dapat melakukan penelitian hadits
sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para ulama.
10. Mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits Nabi
saw.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Ilmu Hadi>ts
merupakan segala ilmu yang membahas atau
menkaji hadis Nabi Muhammad SAW.
·
Dalam sejarah
perkembangan Ilmu Hadis, ulama hadis pada umumnya memberikan perhatian yang
lebih, guna meningkatkan kualitas,
keotentikan serta keorisinalitas hadis itu sendiri. Terbukti dalam sejarah
perkembangan Ilmu itu sendiri, meski dibeberapa periode atau zaman ada sedikit
hambatan dikarenakan beberapa faktor baik dari kalangan umat Islam itu sendiri
maupun dari luar, atau suasana pada zaman tersebut. Dalam sejarah juga
menjelaskan beberapa ilmu yang berkembang pada waktu itu diantaranya:
-
‘Ilmu
Rija>lil al-Hadi>ts
-
‘Ilmu Jarh wa Ta’dil
-
‘Ilmu Asbabi al-Wurud al-Hadi>ts
-
‘Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
-
‘Ilmu ‘Illal al-Hadi>ts.
Dan
masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada zaman tersebut. Dengan dedikasi
yang tinggi dilakukan oleh ulama hadis tersebut sehingga kita dapat merasakan manfaat
ilmu itu sampai saat ini.
·
Ruang lingkup
pembahasan Ilmu Hadis ada 2 yaitu:
-
Ilmu Hadis
Riwayah merupakan “Ilmu penengatahuan yang mengkaji tentang segala yang
disandarkan pada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat
fisik atau psikis dengan penkajian yang detail dan terperinci.” Yang
menjadi objek kajian dari ilmu ini adalah pembahasannya di titik berat kan pada
cara-cara penerimaan dan penyampaian hadis atau penukilan dan pembukuannya.
-
Ilmu Hadis
Dirayah merupakan “ Ilmu tentang
kaidah – kaidah yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan.” Objek
kajiannya adalah lebih mengfokuskan pada
hakikat, syarat-syarat, macam-macam, hukum-hukum periwayatan dan keadaan serta
syarat-syarat periwayat.
B.
Implikasi.
Demikianlah
makalah yang peneliti dapat sajikan sesuai dengan batas kemampuan peneliti, dengan harapan
mudah-mudahan apa yang peneliti sajikan ini dapat memberi manfaat dan menambah
wawasan bagi para pembaca dan bagi diri pribadi peneliti khususnya sehingga
kelak bisa menjadi bahan pembelajaran ketika menyusun makalah yang serupa
dikemudian hari.
Peniliti pun
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak sekali kesalahan,
kekurangan, dan kekeliruan bahkan sangat jauh dari standar penulisan karya
ilmiah sehingga penulis mengharapkan ada fit back atau umpan balik dari para pembaca berupa
kritikan, saran, pemikiran, dan ide-ide yang sifatnya membangun guna memperbaiki
dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan peneliti. Demikianlah semoga benilai
ibadah disisi-Nya.
Semoga kajian
ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca khususnya penulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu>
al-Fadl, Ahmad ibn ‘Ali> bin Hajar.,
Fatul al-Ba>ri> Sarhu Shahi>hu al- Bukha>ri>, Juz IX. Beirut : Da>r al-Ma’rifah. 1379.
Ahmad, Arifuddin.
Qawaid Al-Tahdis., Cet;I, Makassar: Alauddin University Press, 2013.
Ahmad,
Muhammad dan M. Mudzakir., Ulumul Hadis. Badung:
Pustaka Setia, 1998.
Ahmad ibn ‘Utsman
ibn Shahih, Abu Hafsh ibn., al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Hadits. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.
Agama RI, Departemen al-Qur’an dan Terjemahan ., Bandung:
Sygma Examedia Arkanleema, t.th.
Anas Abu>
‘Abdullah al-ashbahi, Ma>lik ibn >., Muwattha al-Ima>ma M<alik, Juz
II, Mesir: Da>r Ihya> at-Turatsa al-‘Arabi>.
Azis, H. Mahmud dan Mahmud Yunus., Ilmu
Musthalahul Hadis. Cet; IX, Jakarta: Hidakarya Agung,
1984 M/1404 H.
Hafid, Erwin.,
Hadis Nabi Menurut perspektif Muhammad al-Gazali dan Yusuf
al-Qarawi>. Cet;I,
Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Idri.
Studi Hadis., Cet; I,
Jakarta: Kencana, 2010.
Ismail, Syuhudi., Pengantar Ilmu Hadis. Bandung : Angkasa, 1991.
Ismail, M. Syuhudi.,
Kaidah Keshahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Pendekatan
Ilmu Sejarah. Cet; I. Jakarta : Bulan Bintang,1998.
Jayadi., Metodologi Kajian Hadist . Makassar:
Alauddin University Prress, 2012.
Khatib,
Muhammad ‘Ajjaj al-Sunnah qabl al-Tadwi>n.Beirut:
Da>r al-Fikr, 1971M.
Khatib,
Muhammad ‘Ajjaj., Ushul al-Hadits: Ulumuh wa
Musthalahul (
Beirut : Da>r al-Fikr 1989 M.
Khon, Abd.Majid.,
Ulumul Hadits. Jakarta:
Amzah, 2008 .
Maliki, Muhammad
Alawi., Ilmu Ushul Hadis. Cet; III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Mahmud
Idris, ‘Abd. Al-Fath.,
al-Mausu’ah al-Islamiah. Kairo:
Majelis al-‘Ala, 2001.
Muhammad
Abu> Syiha>b, Muhammad ibn., al-Wa>sith fi> ‘Ulum wa Musthalah
al-Hadi>ts, Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
Mukram ibn
Manzu>r, Muhammad bin.,
Lisan al-Arab. Mesir: Dar
al-Misri>ah, t.th.
Munawwir, Ahmad
Warson., Kamus al-Munawwir. Surabaya : Pustaka Progresif, 1997.
Nawawi: Imam Diterjemahkan Syarif Hade Masyah., Dasar-dasar
Ilmu Hadis
. Cet: II, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2009.
Nor Ichwan,
Muhammad., Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Semarang : Rasail Media Gruop, 2013.
Nuh , Abddullah
bin dan Oemar Bakry., Kamus Arab – Indonesia – Inggeris. Cet; IV,
Jakarta: Mutiara Jakarta, 1974.
Nuruddin . Ulum
al-Hadits., Cet; II, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995.
Rahman, Fatcur., Ikhtisar
Musthalahu’l Hadits. Yogyakarta :
al- Ma’rif, t.th.
Salim, ‘Amr ‘Abd al-Mun’im., Taisir
‘Ulum al-Hadis lilmubtadiin.Kairo:
Maktabah Ibn Taimiyah, 1997.
Shababagh,
Muhammad., al-Hadi>ts al-Nabawi>. Riyadh
: al-Maktab al-Islami, 1972M/1392 H.
Shiddiqiey,
Hasbi., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet;
V, Jakarta : Bulan Bintang, 1977.
Shiddieqy, M.
Hasby., Pokok – Pokok
Ilmu Dirayah Hadits. Cet: VII, Jakarta : Bulan Bintang, 1987 M .
Shiddieqy, Hasbi., Pokok – Pokok Ilmu
Dira>jah Hadiets. Cet;
III , Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Umar, Mustafa.,
Antologi Hadis (Melacak Asal-Usul dan Perkembangan Hadis). Cet;
I, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Qardawi, Yusuf.,
Kaifa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, ter. Muhammad al-Baqir, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi saw. Bandung:
Karisma, 1993.
Yunus, Mahmud Kamus
Arab – Indonesia., Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsir al-Qur’an, 1973.
[1] M<alik
ibn Anas Abu> ‘Abdullah al-ashbahi>, Muwattha al-Ima>ma M<alik, Juz
II, (Mesir: Da>r Ihya> at-Turatsa al-‘Arabi>) h. 899
[2]Erwin Hafid,
Lc.,M.Th.I., M.Ed., Hadis Nabi Menurut perspektif Muhammad al-Gazali dan
Yusuf al-Qarawi>, (Cet;I, Makassar: Alauddin University Press, 2011), h.
48-49.
[3]Mustafa Umar, S.Ag,
M.Ag, Antologi Hadis (Melacak Asal-Usul dan Perkembangan Hadis), ( Cet;
I, Makassar: Alauddin University Press, 2011)h.7
[4]Prof.
Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag, Qawaid Al-Tahdis (Cet;I, Makassar:
Alauddin University Press, 2013) h. 7
[6]Muhammad
ibn Muhammad Abu> Syiha>b, al-Wa>sith fi> ‘Ulum wa Musthalah
al-Hadi>ts, (Beirut : Da>r al-Fikr, t.th), h. 23
[7]Muhammad al-Shababagh, al-Hadi>ts
al-Nabawi>, (Riyadh : al-Maktab al-Islami, 1972M/1392 H), h. 13. Lihat Juga Muhammad bin Mukram ibn Manzu>r,
Lisan al-Arab, Juz II (Mesir:
Dar al-Misri>ah, t.th), h. 436-439
[8]‘Amr ‘Abd al-Mun’im Salim,
Taisir ‘Ulum al-Hadis lilmubtadiin, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah,
1997)h. 12. Lihat juga Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Badung:
Pustaka Setia, 1998), h. 14.
[9]Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwi>n, (Beirut: Da>r al-Fikr,
1971M), h.20
[10]Yusuf al-Qardawi, Kaifa
Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, ter. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Bandung:
Karisma, 1993), h. 17.
[11]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,
( Cet; I, Jakarta: Kencana, 2010), h.54
[12] Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis, ( Bandung : Angkasa, 1991), h.61
[13]Prof.
Dr. Muhammad Alawi al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet; III, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), h. 37-38.
Lihat juga Ahmad ibn ‘Ali> bin Hajar Abu> al-Fadl, Fatul
al-Ba>ri> Sarhu Shahi>hu al- Bukha>ri>, Juz IX, ( Beirut :
Da>r al-Ma’rifah. 1379 ), h. 306
[14]Drs. M.
Jayadi M.Ag, Metodologi Kajian Hadist ( Makassar: Alauddin University
Prress, 2012), h.2
[15]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,h.
80-81
[16]Muhammad Nor Ichwan, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, ( Semarang : Rasail Media Gruop, 2013) h. 158
[17]Imam al-Nawawi: Diterjemahkan
Syarif Hade Masyah,Dasar-dasar Ilmu Hadis ( Cet: II, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2009), h. 179
[19]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,
h. 66
[20] Drs. Fatcur Rahman, Ikhtisar
Musthalahu’l Hadits,( Yogyakarta : al- Ma’rif, t.th), h. 57-58
[22] Prof. T. M. Hasbi
ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Cet; V, Jakarta :
Bulan Bintang, 1977), H. 153
[23] Prof. T. M. Hasbi
ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 153-154
[25] Mahmud Yunus, Kamus Arab –
Indonesia, ( Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsir al-Qur’an, 1973 ), h.
33
[27]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,
h.71
[29]Prof. T. M. Hasbi
ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,h.155-156
[30] Mahmud Yunus, Kamus Arab –
Indonesia, h.276
[31]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul (
Beirut : Da>r al-Fikr 1989 M) h.291
[33]M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Keshahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah, (
Cet; I. Jakarta : Bulan Bintang,1998),h. 131
[34] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul, h.295-296
[36]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul, h. 283
[37]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,
h. 74
[40]Prof. T. M. Hasbi
ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 164
[41] Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,
h.77
[43]‘Abd. Al-Fath Mahmud Idris, al-Mausu’ah
al-Islamiah, ( Kairo: Majelis al-‘Ala, 2001 ), h. 1394
[44]Abu Hafsh ibn Ahmad ibn ‘Utsman
ibn Shahih, al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Hadits, ( Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), h.7
[45] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahul, h.186
[46]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung:
Sygma Examedia Arkanleema, t.th.), h. 17
[47]Abddullah
bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab – Indonesia – Inggeris, (Cet; IV,
Jakarta: Mutiara Jakarta, 1974), h. 123
[50]M. Hasby
ash-Shiddieqy, Pokok – Pokok
Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I ( Cet: VII, Jakarta : Bulan Bintang, 1987 M ),
h. 20
[52] Drs. Fatcur Rahman, Ikhtisar
Musthalahu’l Hadits, h.55
[53]Mahmud Yunus, Kamus Arab –
Indonesia, h. 127
[54]Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy,
Pokok – Pokok Ilmu Dira>jah Hadiets, ( Cet; III , Jakarta: Bulan
Bintang, 1967 ), h. 17
[55] Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy,
Pokok – Pokok Ilmu Dira>jah Hadiets, h.17
[57] Prof. T. M. Hasbi
ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 151
[58] M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Keshahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 52-58., Lihat Juga, H. Mahmud Azis dan
Mahmud Yunus,Ilmu Musthalahul Hadis, ( Cet; IX, Jakarta: Hidakarya
Agung, 1984 M/1404 H), h.11
[60]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,
h.65
[61]Drs. Fatcur Rahman, Ikhtisar
Musthalahu’l Hadits, h. 21-23
[62]Dr. Abd.Majid Khon, Ulumul
Hadits, (Jakarta: Amzah, 2008 )h. 68